Selasa, 19 April 2011

Mengembangkan Kemampuan Berpikir (part 1)

Dalam Al-qur’an banyak sekali ayat yang menyuruh atau mempertanyakan tentang proses berpikir di akhir ayatnya, “agar kamu berpikir”, “bagi kaum yang berpikir”, “apakah kamu tidak berpikir”, dan bentuk-bentuk kalimat lainnya. Allah selalu mengajak dan menginginkan manusia agar selalu menggunakan akalnya, jangan pernah akal ini berhenti dari proses yang namanya berpikir. Nabi Ibrahim As merupakan salah satu contoh manusia teladan yang tidak pernah lepas dari proses ini. Al-qur’an merekam peristiwa ini dalam Surat Al-An’am: “Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar", maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”. Nabi Ibrahim memunculkan keteladanan bagi umat manusia dalam berpikir, kejadian-kejadian yang berkaitan dengan cerita Nabi Ibrahim memberikan penekanan pada cara berpikir, saat kita membaca kisah Nabi Ibrahim dalam Al-qur’an, maka pada saat yang sama kita sedang mempelajari tentang metode berpikir. Mari kita lihat di ayat lain dalam Surat Maryam: “Ingatlah ketika ia (Ibrahim) berkata kepada bapaknya: "Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus”. Nabi Ibrahim ingin mengetuk akal kaumnya yang selama ini telah buta,tertutup dan tidak berfungsi saat mengenal Tuhan mereka, gunakanlah akalmu wahai kaumku, dimanakah dia sekarang? Bagaimana mungkin benda itu bisa menjadi sesembahan? Dan pertanyaan-pertanyaan cerdas, namun tidak menyinggung substansi persoalan secara langsung tapi menyalakan cahaya kesadaran agar mereka dapat sampai pada Rabb Allah wa jalla dengan proses berpikir yang lahir dari kaumnya sendiri (kesadaran diri/androgogi). Begitupun pada saat Nabi Ibrahim menghancurkan berhala-berhala yang ada, kemudian meninggalkan satu berhala yang paling besar, Ibrahim muda kembali memancing kaumnya untuk berpikir, dengan mengatakan: “"Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara". Perkataan Nabi Ibrahim ini menggetarkan akal kaumnya yang selama ini tidak digunakan karena penjara tradisi nenek moyang, kaumnya menjadi tertunduk dan malu karena tidak mampu menjawab pertanyaan ini, hanya kesombonganlah yang menghalangi mereka dari pikiran jernih yang ingin dihadirkan oleh Ibrahim muda. Masih dengan Nabi Ibrahim, kita lihat lagi peristiwa saat Ibrahim berdebat dengan seorang yang dianggap paling pintar, berkuasa, berkedudukan, berharta dan mulia dialah raja kafir Namrud. Ibrahim kembali mengeluarkan jurus “pancing pikir” metodelogi androgogi saat berhadapan dengan orang nomor satu ini, tanpa merendahkan dan menyudutkan raja Namrud, Ibrahim mengetuk pusat kesadaran Namrud dengan lembut masuk ke dalam akal Namrud tanpa disadarinya, bahwa saat itu Ibrahim sedang membimbingnya untuk mencapai Allah. Raja Namrud yang begitu powerfull menjadi merasa begitu lemah dan bibir yang biasanya sekehendak hati bisa mengatakan apa saja serasa beku dan gemetar karena tidak mampu mengucapkan sepatah kata. Lagi-lagi Ibrahim mengajarkan kita tentang proses berpikir. Kelangsungan cerita ini dapat dilihat dalam surat Al-Baqarah, “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan," orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan". Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat," lalu heran terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim”. Mari kita lanjutkan kisahnya, sekarang kita lihat sudut pandang yang berbeda dari aktifitas Ibrahim, kisah-kisah sebelumnya menggambarkan Ibrahim saat berhadapan dengan kaumnya, tentang bagaimana Ibrahim menyentuh pusat kesadaran dalam akal kaumnya melalui proses berpikir, disini kita mempelajari metodelogi berpikir horizontal yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim. Sekarang kita bagaimana Nabi Ibrahim ingin mengembangkan kompetensi berpikirnya melalui proses berpikir transenden vertikal ke atas, dengan cara apa? Bertanya, ya bertanya kepada Rabb yang Maha Suci. Ibrahim bertanya,”Ya Allah Bagaimana Engkau menghidupkan orang yang telah mati?”. Tentu saja, akan muncul pernyataan dari kita…Ibrahim kok nanya kaya gitu? Diakan nabi,,wah payah tuh imannya nabi Ibrahim, dan bentuk pernyataan-peryataan lainnya. Namun yang pasti ada hikmah besar dari peristiwa yang dituliskan dalam Al-qur’an ini, apakah itu? Kita melihat karakter dan sosok nabi Ibrahim yang selalu meluaskan ruang berpikirnya melalui bertanya kepada dzat yang Maha Tahu dan Ibrahim tidak pernah malu saat memunculkan pertanyaan seperti itu, seakan-akan ia tidak layak menjadi nabi, tidak. Apa jadinya jika Ibrahim tidak pernah memunculkan pertanyaan seperti ini? Yang seakan-akan kita melihatnya sebagai pertanyaan yang sepele alias tidak bermutu. Dari pertanyaan ini, memberikan pelajaran kepada kita untuk semakin mengenal Allah, Dia Maha perkasa dan Mahabijaksana. Allah mengapresiasi pertanyaan ini sebagai bentuk pertanyaan terbaik, sehingga diabadikan dalam Al-qur’an. Allah berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati". Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu?". Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)". Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cingcanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera". Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Dalam ayat ini terpenuhilah ruang berpikir nabi Ibrahim, Allah menjelaskannya dengan sangat elegan, pertama Allah kembali bertanya kepada Ibrahim, untuk membersihkan ruang pikir Ibrahim. Kedua Allah mengisi ruang berpikir Ibrahim dengan cara merangsang otak Ibrahim dengan angka (empat burung) dan arah (utara,selatan, timur dan barat). Ketiga Allah menguatkan proses berpikir Ibrahim dengan cara menyuruh nabi Ibrahim mempraktekkannya. Sebenarnya masih banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah Nabi Ibrahim kaitannya dengan kreatifitas daya akal ini. setelah tadi kita menyimpulkan ada 2 metodologi yang digunakan Nabi Ibrahim, yaitu cara berpikir horizontal dan transenden vertical ke atas, selanjutnya yang ketiga yaitu humanis vertical ke bawah. Cara berpikir humanis vertical ke bawah adalah cara berpikir yang egaliter, bersahabat dan bersahaja, cara berpikir seperti ini sifatnya top-down, karena orang yang diajak untuk berpikir adalah lebih rendah dibanding yang menstimulasinya, contohnya seorang pemimpin kepada pejabatnya, sebagaimana Rasulullah SAW bertanya strategy perang saat perang Badar dan Uhud, juga tentang status tawanan perang serta saat terjadi perjanjian Hudaibiyah. Contoh lainnya yaitu diskusi antara seorang ayah dan anak, dimana ayah berposisi sebagai stimulan dari percakapan ini. Hal seperti ini ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim saat menerima perintah dari Allah SWT untuk menyembelih anaknya Ismail yang saat itu masih berusia 12 tahun. Ibrahim tidak serta merta melaksanakan perintah yang didapatinya dari mimpi itu, tapi beliau menanyakan dulu pendapat dan tanggapan anaknya, Ibrahim bertanya, “Nak, ayah mendapat perintah seperti ini dari Allah, Piye pendapat koe,nak? Inilah stimulan berpikir humanis vertical ke bawah, Ibrahim ingin membangun kesadaran berpikir Ismail melalui proses berpikir, walaupun saat itu Ibrahim bisa saja langsung menyembelih Ismail tanpa ada alur seperti ini karena secara status Ismail memang tidak berdaya. Namun apakah yang diajarkan Ibrahim dari peristiwa ini? Lagi-lagi berpikir, ya berpikir. Pertama Ibrahim ingin membangunkan ruang berpikir Ismail terhadap Allah SWT, dimanakah letak Allah SWT dalam pikiran Ismail, Ibrahim ingin mengetahuinya. Kedua Ismail meneguhkan kejernihan Imannya kepada Allah melalui proses berpikir. Ketiga bangunan komunikasi yang sempurna antara Ibrahim dan Ismail lahir dari proses berpikir yang mendalam. Allah memperlihatkan peristiwa ini dalam Al-qur’an surat Ash-shoffat, “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". Inilah sepenggal kisah yang terbaik dalam Al-qur’an, ada banyak pelajaran yang bisa kita ambil, saat kita mau membuka, membersihkan dan menata ruang berpikir kita. Nabi Ibrahim telah mengajarkan kepada kita tentang jangan pernah akal ini menjadi berkarat dan stagnan karena tidak mau dan pernah digunakan untuk berpikir. “Manusia yang tidak pernah membiasakan diri untuk merangsang akalnya bagaikan pesawat super canggih yang tidak memiliki bahan bakar, maka ia tidak akan bisa terbang tinggi dan melihat betapa luasnya alam semesta ini, sedangkan manusia yang selalu berpikir seperti pesawat super canggih yang bahan bakarnya tidak pernah habis, sehingga ia bisa melihat semesta dengan dalam dan luas serta terbang setinggi-tingginya tanpa batas”. Jangan pernah menjadi orang yang malas untuk berpikir, karena salah satu sarana untuk menjadikan kita sebagai manusia seutuhnya adalah dengan berpikir. Mari membiasakan diri kita untuk berpikir, sekecil apapun itu, dengan metode yang sudah dicontohkan oleh Al-qur’an melalui Nabi Ibrahim. Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Iqra'

  • Petunjuk jalan
  • Paradigma Alqur'an
  • Menuju jama'atul Muslimin
  • Laskar pelangi
  • Dakwah salafiyah dakwah bijak
  • Benturan Peradaban