Sabtu, 09 Maret 2013

Semangat...Allahu Akbar!!!
Silahkan Download AD/ART LDK DI SINI

Sabtu, 23 April 2011

Mengembangkan kemampuan berpikir (part 2)

Pernahkah anda bertanya “apakah kita mampu mencapainya?” pertanyaan itu sering muncul saat kita membuat misi, entah misi pribadi maupun misi organisasi. Seperti halnya ketika kita membaca biografi orang-orang besar, yang pertama kali kita rasakan adalah apakah aku memiliki persyaratan untuk menjadi seperti mereka?
Hambatan yang paling besar dalam diri seseorang untuk menjadi orang besar yaitu ketidakyakinan diri akan kemampuannya. Misalnya saat dia berkata, “Dia bisa begitu karena cerdas” atau “saya tidak bisa begitu karena saya tidak cukup cerdas”. Siapa yang membatasi kemampuan kita? bukankah Allah telah memberikan jaminan kepastian bahwa Dia (Allah) tidak akan memhamparkan volume aktivitas kecuali sesuai dengan kadar kemampuan kita? firman Allah, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”. Tidak akan pernah ada malaikat yang membocorkan rahasia dengan berkata, Hai Abdi kamu punya kapasitas 100 makanya jangan dipaksakan menjadi 1000, atau Hai Abdi, kamu itu punya kapasitas 100, jangan hanya gunakan 50 berarti kamu itu bodoh. Tidak akan pernah ada informasi seperti itu, kita tidak akan pernah tahu kapasitas kita. lantas apa yang mesti kita lakukan?
Seseorang pernah berkata, “Never put any limitation since you want to starting something. But if you have done you now your limitation”. Janganlah anda pernah membuat batasan pada saat anda pertama kali memulai, tapi kalau kita sudah mengerjakannya, anda akan tahu batas Anda yang sebenarnya. Jadi yang terpenting adalah optimalisasi diri, mengoptimalkan kemampuan kita untuk melakukannya. Allah berfirman, “bertaqwalah seoptimal mungkin”.
Pernahkah anda mendengar analogi ini rezki itu seperti 3 buah kendi, adan ukuran kecil, sedang dan besar. Kalau ukuran kendi anda kecil, maka air yang dapat anda tampungpun hanya sedikit, walaupun anda memaksakan mengisi dengan air, hanya akan tumpah kemana-mana. Namun beruntunglah jika kita memiliki kendi yang besar, jika diisi air maka akan bisa menampung banyak. Tapi, kita tidak pernah tahu ukuran kendi kita, apakah saya mempunyai kendi kecil, sedang atau besar? Apakah anda mempunyai kendi yang kecil? Tidak ada yang tahu, yang harus kita lakukan adalah kerjakan saja semaksimal mungkin. Ketika sudah sampai pada satu titik, itulah batasan kita yang sebenarnya.
Oleh karena itu sahabat, kita perlu mengetahui lebih dalam lagi tentang kemampuan kita dan apa yang harus kita lakukan untuk mengembangkannya. Orang-orang besar yang selama ini kita kenal dalam sejarah dunia, pada awalnya pun bukanlah orang yang cerdas pada awalnya, tetapi mereka cerdas di tengah jalan, yang membedakannya adalah mereka mampu mengenal kemampuan dan mengembangkannya. Untuk melakukan hal tersebut, kita perlu mengetahui hierarki kepribadian kita dan melakukan perubahan secara mendasar, ingat, secara mendasar alias mengakar bukan hanya perubahan yang semu. Jika hari ini anda berubah, maka perubahan itu akan menetap selamanya. Lantas apakah akar perubahan yang mendasar itu? Akar yang paling dalam dari kepribadian seseorang ada pada pikirannya.
Pikiran itu seperti tanah yang subur, seperti halnya seorang petani akan memanfaatkan tanah yang subur itu untuk menumbuhkan berbagai macam tanaman yang “menghidupkan” manusia, berupa kesejukan, kebahagian dan nilai guna. Untuk itu petani memerlukan bibit, kemudian menyiramnya, membersihkannya, merawatnya, mengembangkannya, dan menggunakannya. Dalam ilmu pertanian kita mengenal bahwa tidak semua tanah cocok untuk setiap bibit tanaman, contoh tanah pada dataran rendah tidak cocok untuk tanaman tertentu atau tanah yang basah di dataran tinggi tidak cocok untuk tanaman tertentu. Sama seperti halnya pikiran, memerlukan bibit yang tepat, bibit adalah apa yang kita tanam dalam pikiran kita, ia bisa tumbuh menjadi motivasi dan berkembang menjadi perilaku. Kita tidak dapat menanam bibit pada tanah yang kita miliki, kita harus mengenal bibit yang paling cocok dengan tipe tanah yang kita miliki. Tidak ada perubahan yang paling mendasar kecuali kita merubah struktur pemikirannya terlebih dahulu.
Anda pasti akan sepakat dengan saya, bahwa prestasi dan kesuksesaan tidak ditentukan oleh kecerdasan IQ 150 (sangat jenius) tapi oleh ketekunan. Tidak ada sesuatu yang terjadi di luar dari apa yang kita pikirkan. Kita tidak akan pernah mencapai prestasi besar jika prestasi tersebut tidak pernah kita pikirkan sebelumnya. Sama halnya, kita tidak akan pernah melakukan sesuatu yang monumental dalam hidup, jika sesuatu yang monumental itu tidak pernah ada dalam rekaman pikirannya kita. lihatlah para arsitek sebelum membangun rumah, apakah yang muncul terlebih dahulu? Ya, pikiran tentang rancangan model rumah, kemudian dia menggambarnya dan setelah itu mulai merealisasikannya ke alam di luar pikiran. Oleh karena itu aspek pikiran inilah yang harus kita tata terlebih dahulu.
Ingat, ayat apa yang pertama kali disampaikan kepada Rasulullah? Allah berfirman, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam, Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. Iqra’, bukalah mata anda, bukalah pintu hati anda, bukalah pikiran anda, dan lihatlah apa yang ada di sekeliling anda. Belajarlah menyerap, menyimpan, mengelola dan kemudian mencipta. Inilah yang ingin Allah ajarkan pertama kali kepada rasulullah, iqra. Oleh karenanya Muhammad Saw yang tadinya hidup sebagai pengembala kambing, menjadi manusia yang paling keren, pemimpin umat manusia hanya dalam masa pembinaan 22 tahun, 2 bulan 22 hari. Umar bin khattab menjadi sahabat yang di akui kecerdasan dan keberaniannya oleh masyarakat barat dan timur, begitu juga yang membentuk Abu bakar menjadi manusia yang terjujur selalu membenarkan rasulnya dan lemah lembut akhlaqnya serta terkeras sikapnya saat ajaran nabi dilecehkan, lihat juga sahabat Bilal bin rabbah menjadi manusia yang terhormat dan mulia yang sebelumnya dia hanyalah seorang budak. Apakah semua itu? Iqra’, rubahlah pikiranmu dan lihatlah apa yang terjadi, merubah pikiran berdasarkan prinsip-prinsip yang telah Allah ajarkan melalui Surat Al-‘alaq ayat 1-5, sebagaimana telah dipraktekkan oleh para sahabat dengan bimbingan Rasulullah Saw. Wallahu a’alam.

Selasa, 19 April 2011

Mengembangkan Kemampuan Berpikir (part 1)

Dalam Al-qur’an banyak sekali ayat yang menyuruh atau mempertanyakan tentang proses berpikir di akhir ayatnya, “agar kamu berpikir”, “bagi kaum yang berpikir”, “apakah kamu tidak berpikir”, dan bentuk-bentuk kalimat lainnya. Allah selalu mengajak dan menginginkan manusia agar selalu menggunakan akalnya, jangan pernah akal ini berhenti dari proses yang namanya berpikir. Nabi Ibrahim As merupakan salah satu contoh manusia teladan yang tidak pernah lepas dari proses ini. Al-qur’an merekam peristiwa ini dalam Surat Al-An’am: “Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar", maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”. Nabi Ibrahim memunculkan keteladanan bagi umat manusia dalam berpikir, kejadian-kejadian yang berkaitan dengan cerita Nabi Ibrahim memberikan penekanan pada cara berpikir, saat kita membaca kisah Nabi Ibrahim dalam Al-qur’an, maka pada saat yang sama kita sedang mempelajari tentang metode berpikir. Mari kita lihat di ayat lain dalam Surat Maryam: “Ingatlah ketika ia (Ibrahim) berkata kepada bapaknya: "Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus”. Nabi Ibrahim ingin mengetuk akal kaumnya yang selama ini telah buta,tertutup dan tidak berfungsi saat mengenal Tuhan mereka, gunakanlah akalmu wahai kaumku, dimanakah dia sekarang? Bagaimana mungkin benda itu bisa menjadi sesembahan? Dan pertanyaan-pertanyaan cerdas, namun tidak menyinggung substansi persoalan secara langsung tapi menyalakan cahaya kesadaran agar mereka dapat sampai pada Rabb Allah wa jalla dengan proses berpikir yang lahir dari kaumnya sendiri (kesadaran diri/androgogi). Begitupun pada saat Nabi Ibrahim menghancurkan berhala-berhala yang ada, kemudian meninggalkan satu berhala yang paling besar, Ibrahim muda kembali memancing kaumnya untuk berpikir, dengan mengatakan: “"Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara". Perkataan Nabi Ibrahim ini menggetarkan akal kaumnya yang selama ini tidak digunakan karena penjara tradisi nenek moyang, kaumnya menjadi tertunduk dan malu karena tidak mampu menjawab pertanyaan ini, hanya kesombonganlah yang menghalangi mereka dari pikiran jernih yang ingin dihadirkan oleh Ibrahim muda. Masih dengan Nabi Ibrahim, kita lihat lagi peristiwa saat Ibrahim berdebat dengan seorang yang dianggap paling pintar, berkuasa, berkedudukan, berharta dan mulia dialah raja kafir Namrud. Ibrahim kembali mengeluarkan jurus “pancing pikir” metodelogi androgogi saat berhadapan dengan orang nomor satu ini, tanpa merendahkan dan menyudutkan raja Namrud, Ibrahim mengetuk pusat kesadaran Namrud dengan lembut masuk ke dalam akal Namrud tanpa disadarinya, bahwa saat itu Ibrahim sedang membimbingnya untuk mencapai Allah. Raja Namrud yang begitu powerfull menjadi merasa begitu lemah dan bibir yang biasanya sekehendak hati bisa mengatakan apa saja serasa beku dan gemetar karena tidak mampu mengucapkan sepatah kata. Lagi-lagi Ibrahim mengajarkan kita tentang proses berpikir. Kelangsungan cerita ini dapat dilihat dalam surat Al-Baqarah, “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan," orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan". Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat," lalu heran terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim”. Mari kita lanjutkan kisahnya, sekarang kita lihat sudut pandang yang berbeda dari aktifitas Ibrahim, kisah-kisah sebelumnya menggambarkan Ibrahim saat berhadapan dengan kaumnya, tentang bagaimana Ibrahim menyentuh pusat kesadaran dalam akal kaumnya melalui proses berpikir, disini kita mempelajari metodelogi berpikir horizontal yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim. Sekarang kita bagaimana Nabi Ibrahim ingin mengembangkan kompetensi berpikirnya melalui proses berpikir transenden vertikal ke atas, dengan cara apa? Bertanya, ya bertanya kepada Rabb yang Maha Suci. Ibrahim bertanya,”Ya Allah Bagaimana Engkau menghidupkan orang yang telah mati?”. Tentu saja, akan muncul pernyataan dari kita…Ibrahim kok nanya kaya gitu? Diakan nabi,,wah payah tuh imannya nabi Ibrahim, dan bentuk pernyataan-peryataan lainnya. Namun yang pasti ada hikmah besar dari peristiwa yang dituliskan dalam Al-qur’an ini, apakah itu? Kita melihat karakter dan sosok nabi Ibrahim yang selalu meluaskan ruang berpikirnya melalui bertanya kepada dzat yang Maha Tahu dan Ibrahim tidak pernah malu saat memunculkan pertanyaan seperti itu, seakan-akan ia tidak layak menjadi nabi, tidak. Apa jadinya jika Ibrahim tidak pernah memunculkan pertanyaan seperti ini? Yang seakan-akan kita melihatnya sebagai pertanyaan yang sepele alias tidak bermutu. Dari pertanyaan ini, memberikan pelajaran kepada kita untuk semakin mengenal Allah, Dia Maha perkasa dan Mahabijaksana. Allah mengapresiasi pertanyaan ini sebagai bentuk pertanyaan terbaik, sehingga diabadikan dalam Al-qur’an. Allah berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati". Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu?". Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)". Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cingcanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera". Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Dalam ayat ini terpenuhilah ruang berpikir nabi Ibrahim, Allah menjelaskannya dengan sangat elegan, pertama Allah kembali bertanya kepada Ibrahim, untuk membersihkan ruang pikir Ibrahim. Kedua Allah mengisi ruang berpikir Ibrahim dengan cara merangsang otak Ibrahim dengan angka (empat burung) dan arah (utara,selatan, timur dan barat). Ketiga Allah menguatkan proses berpikir Ibrahim dengan cara menyuruh nabi Ibrahim mempraktekkannya. Sebenarnya masih banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah Nabi Ibrahim kaitannya dengan kreatifitas daya akal ini. setelah tadi kita menyimpulkan ada 2 metodologi yang digunakan Nabi Ibrahim, yaitu cara berpikir horizontal dan transenden vertical ke atas, selanjutnya yang ketiga yaitu humanis vertical ke bawah. Cara berpikir humanis vertical ke bawah adalah cara berpikir yang egaliter, bersahabat dan bersahaja, cara berpikir seperti ini sifatnya top-down, karena orang yang diajak untuk berpikir adalah lebih rendah dibanding yang menstimulasinya, contohnya seorang pemimpin kepada pejabatnya, sebagaimana Rasulullah SAW bertanya strategy perang saat perang Badar dan Uhud, juga tentang status tawanan perang serta saat terjadi perjanjian Hudaibiyah. Contoh lainnya yaitu diskusi antara seorang ayah dan anak, dimana ayah berposisi sebagai stimulan dari percakapan ini. Hal seperti ini ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim saat menerima perintah dari Allah SWT untuk menyembelih anaknya Ismail yang saat itu masih berusia 12 tahun. Ibrahim tidak serta merta melaksanakan perintah yang didapatinya dari mimpi itu, tapi beliau menanyakan dulu pendapat dan tanggapan anaknya, Ibrahim bertanya, “Nak, ayah mendapat perintah seperti ini dari Allah, Piye pendapat koe,nak? Inilah stimulan berpikir humanis vertical ke bawah, Ibrahim ingin membangun kesadaran berpikir Ismail melalui proses berpikir, walaupun saat itu Ibrahim bisa saja langsung menyembelih Ismail tanpa ada alur seperti ini karena secara status Ismail memang tidak berdaya. Namun apakah yang diajarkan Ibrahim dari peristiwa ini? Lagi-lagi berpikir, ya berpikir. Pertama Ibrahim ingin membangunkan ruang berpikir Ismail terhadap Allah SWT, dimanakah letak Allah SWT dalam pikiran Ismail, Ibrahim ingin mengetahuinya. Kedua Ismail meneguhkan kejernihan Imannya kepada Allah melalui proses berpikir. Ketiga bangunan komunikasi yang sempurna antara Ibrahim dan Ismail lahir dari proses berpikir yang mendalam. Allah memperlihatkan peristiwa ini dalam Al-qur’an surat Ash-shoffat, “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". Inilah sepenggal kisah yang terbaik dalam Al-qur’an, ada banyak pelajaran yang bisa kita ambil, saat kita mau membuka, membersihkan dan menata ruang berpikir kita. Nabi Ibrahim telah mengajarkan kepada kita tentang jangan pernah akal ini menjadi berkarat dan stagnan karena tidak mau dan pernah digunakan untuk berpikir. “Manusia yang tidak pernah membiasakan diri untuk merangsang akalnya bagaikan pesawat super canggih yang tidak memiliki bahan bakar, maka ia tidak akan bisa terbang tinggi dan melihat betapa luasnya alam semesta ini, sedangkan manusia yang selalu berpikir seperti pesawat super canggih yang bahan bakarnya tidak pernah habis, sehingga ia bisa melihat semesta dengan dalam dan luas serta terbang setinggi-tingginya tanpa batas”. Jangan pernah menjadi orang yang malas untuk berpikir, karena salah satu sarana untuk menjadikan kita sebagai manusia seutuhnya adalah dengan berpikir. Mari membiasakan diri kita untuk berpikir, sekecil apapun itu, dengan metode yang sudah dicontohkan oleh Al-qur’an melalui Nabi Ibrahim. Wallahu a’lam

Senin, 18 April 2011

“Hati-hati saat membaca tulisan ini” : Untukmu Para Materialistik…

Persepsi, semua yang ada di dunia ini hanyalah bentukan dari persepsi kita, jadi sebenarnya tidak ada yang nyata di dunia ini, termasuk materi. Jika ada orang yang mengejar materi sampai melupakan hakikat penciptaannya maka seutuhnya dia mengejar sesuatu yang tidak ada alias fatamorgana dunia, sudah pasti orang seperti ini dapat kita katakan telah tertipu bahkan menipu dirinya sendiri. Ironi memang, namun banyak manusia yang tidak sadar akan hal ini. Semua materi yang “ada” di sekitar kita pada hakikatnya tidak ada, karena materi yang kita anggap “ada” itu hanyalah bentukan dari persepsi kita, dimanakah letak persepsi kita? Persepsi terbentuk di otak, ya di otak, Allah telah menciptakan satu-satunya ke “ada”-an dalam diri kita yaitu otak, kenapa hanya otak yang ada, sedangkan selain otak hanyalah tipuan? Mari kita telusuri, manusia memiliki indera perasa, penglihatan, pendengaran, peraba, penciuman yang kita sebut panca indera. Kita ambil contoh indera penglihatan, pada saat kita melihat maka sebenarnya materi yang kita lihat itu sebenarnya tidak ada, karena hanya bentukan dari otak kita, bagaimana itu bisa terjadi? Perhatikan ini, misalnya saat saya melihat gelas berisi buah, maka pusat penglihatan yang ada di otak segera membentuk persepsi, melalui proses, gelas yang berisi buah ditangkap oleh kornea pada mata, kemudian melalui iris, selanjutnya ditata oleh lensa sebelum stabil di retina yang pada tahap sebelum ini terjadi proses reaksi kimiawi oleh enzim fosfodiesterase. Nah, senyawa kompleks kimia inilah yang selanjutnya diantarkan ke otak melalui perubahan menjadi sinyal-sinyal listrik dalam melewati sinaps, otak dirangsang kemudian mengetuk pusat penglihatannya dan kemudian terbentuklah gelas berisi buah di dalam otak kita, jadi gambaran alias bayangan materi yang kita lihat pada hakikatnya tidak ada di sekitar kita namun berada di dalam otak kita. semua materi yang selama ini kita anggap “ada” sebenarnya dibentuk oleh otak kita, oleh karena itu kebenaran materi hanya ada pada otak kita bukan di depan, samping, belakang, bawah atau atas kita, karena itu hanyalah bentukan dari persepsi otak kita. Masih belum pahamkah? Mari kita lanjutkan, hal seperti ini juga terjadi pada semua indera manusia, jadi semua benda letaknya di dalam otak, bukan di luarnya, di luar otak sebenarnya tidak ada materi. Semisal, kita ambil otak kita kemudian meletakkannya di luar tubuh kita, otak yang hanya sebesar genggaman itu menyimpan triliunan data dan informasi yang membentuk persepsi kita. Nah, otak di luar tubuh kita inilah yang hakikatnya ada, sama saat kita membayangkan sebuah computer dan otak yang di letakkan berdampingan kemudian dihubungkan dengan kabel data dari computer ke otak kita, semua gambaran data dan informasi yang ada di computer ditransfer ke otak kita dari waktu ke waktu mulai dari kita lahir sampai sekarang ini, gambaran data dan informasi inilah yang dipersepsikan dalam otak kita sebagai bentuk materi yang sebenarnya tidak ada, karena hanyalah bayangan dari otak. Lantas ada yang bertanya, kalau toh di dunia ini hanya otak kita yang pada hakikatnya ada, berarti sebenarnya otak kita tidak ada karena otak kita juga lahir dari ketukan panca indera kita? Benar, karena sesuatu yang sejati ada adalah sesuatu yang tanpa melalui proses ketukan dari panca indera. Allah SWT telah menanamkan software ke dalam otak kita, software inilah yang dinamakan ruh, akibat adanya ruh pada otak maka otak kita menjadi ada, karena ruh itulah yang mengadakan ke’ada’-annya. Salah satu keajabaiban penciptaan manusia, Allah meniupkan ruh kepadanya yang berisi segala informasi dan data bernuansa langit, maka beruntunglah orang yang selalu melestarikan informasi langit ini. Allah SWT berfirman, “sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. Ruh merupakan lapisan informasi dan data langit yang melingkupi otak kita, dalam bahasa agama kita kenal dengan istilah fitrah, Allah SWT berfirman, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. Ruh sebagai software awal yang sudah melekat sejak permulaan penciptaan manusia, Allah memberikan petunjuk kepada ruh berupa data langit yang ditiupkan-Nya, ruh inilah yang menentukan keberadaan manusia di bumi, apakah dia bereksistensi atau tidak? Ruh tidak pernah terpisahkan dari otak kita karena dari ruh-lah akar dan awal dari segala persepsi bentukan materi yang selama ini dianggap ada. Hal ini terjadi pada bapak moyang kita Nabi Adam AS, Allah SWT berfirman, “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar”. Maka sekali lagi, segala sesuatu yang selama ini kita ketahui sebagai materi pada hakikatnya tidak ada dan hanyalah khayalan belaka. Sudah jelaskah? Atau masih belum? Mari kita lanjutkan, pernahkah anda buta?salah, maksudnya pernahkah anda melihat orang buta? Pernah tentunya, buta merupakan salah satu contoh menarik untuk menegaskan hal ini, saat kita telah buta maka materi yang ada akan tidak ada, betul? Gelas yang ber”ada” di depan kita akan hilang saat indera penglihatan kita telah hilang atau dengan kata lain materi (gelas) sebenarnya tidak ada, masih ada yang bertanya, tapi kita bisa merasakan keber”ada”an gelas dengan menyentuhnya? Ya benar, lantas bagaimana jika indera peraba kita di cabut? Apakah kita masih bisa merasakan sentuhannya? Tidak, keber”ada”an gelas akan menghilang. Begitupula saat semua indera kita tidak dilayani oleh pusat indera yang ada di otak maka akan terbuktilah bahwa sebenarnya materi itu tidak ada, tapi yang ada hanyalah gambaran materi yang dipersepsikan bentuknya oleh otak. Salah satu bukti bahwa semuanya hanyalah khayalan dari otak kita adalah fenomena mimpi. Pernahkah anda bermimpi? Pasti tentunya, saatnya kita bermimpi, otak ingin memperlihatkan kepada kita tentang permainan persepsi alias ketiadaan materi, saat kita bermimpi kita sedang berada dalam dunia khayalan, otak sebenarnya tidak pernah berpindah tempat, namun kita seakan-akan melihat materi, menyentuhnya, merasakannya, menciumnya dan mendengarkannya dengan permainan perpindahan tempat yang sangat cepat, seolah-olah kita berpindah dari satu materi ke materi lainnya. Inilah sebenarnya yang terjadi di kehidupan yang kita sebut nyata ini, seperti mimpi. Tidak ada materi yang nyata, maka sungguh bodoh dan tertipu saat kita mengorbankan yang hakiki untuk mengejar sesuatu yang sebenarnya tidak ada, materi yang menurut anggapan kita “ada” lahir karena adanya intervensi indera kemudian dipersepsikan oleh otak kita tanpa adanya ruh, maka materi itu menjadi tidak ada karena yang menentukan ke’ada’an otak adalah ruh. Sesuatu menjadi hakiki saat tidak mengalami intervensi indera, lansung ditangkap oleh ruh yang bernuansa akhirat, segala hal yang ghaib serta memerlukan tafsiran keimanan yang kokoh dan mapan, itulah hakikat keberadaan, itulah sebenarnya yang ada, dan itulah sebenarnya yang di kejar, serta itulah taqwa sejati, Allah berfirman, “Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib”. Jangan pernah ditipu oleh mimpi, mungkin saja saat ini kita sedang bermimpi, namun kita menganggapnya nyata. Boleh jadi saat ini kita merasakan bahwa kita di dunia nyata, namun sebenarnya kita sekarang berada di alam mimpi, tidak ada yang mengetahui apakah saat ini kita sedang bermimpi ataukah kita berada di alam realitas, karena kita tidak mengetahui apakah” mimpi” itu yang nyata ataukah “kenyataan” itu yang mimpi, dimana kita sebenarnya? Jangan pernah lagi materi dan angan-angan melalaikan kita…..wallahu a’lam.

Sabtu, 15 Mei 2010

Mengapa Saya Sering Telat

Sebab-sebab terlambat:
1. Disibukkan urusan pribadi disaat berlangsungnya acara organisasi
2. Memiliki beban urusan lain yang tidak mungkin dikerjakan, kecuali pada saat acara/agenda berlangsung
3. Tidak mampu memenej waktunya
4. Terlalu banyak beban tugas yang harus dikerjakan
5. Waktu yang dipilih untuk melangsungkan acara/agenda tidak sesuai
6. Disibukkan oleh urusan sehari-hari yang masih dianggap lebih “prioritas”
7. Tidak menganggap pentingnya efisiensi waktu
8. Keterlambatan orang lain mendorongnya untuk ikut terlambat juga
9. Acara/agenda yang sering diikutinya tidak pernah tepat waktu sehingga membentuk pola pikir bahwa setiap acara yang diadakan pasti tidak akan pernah tepat waktu.
10. Agenda acara terkesan monoton, tidak variatif dan tidak inovatif
11. Ada acara/agenda yang lebih menarik di tempat lain dalam waktu yang bersamaan
12. Tidak merasa dibutuhkan/berperan dalam kegiatan tersebut, ada atau tidak adany saya nggak ngaruh…
13. Tidak menyadari betapa pentingnya kehadirannya di acara tersebut sekecil apapun itu dan tidak memahami bahwa ketidakhadirannya membawa efek negative terhadap keberlangsungan acara serta merugikan orang lain jika itu di dalam sebuah forum.
14. Adanya keterlambatan pihak penanggung jawab acara, yang ngundang/bikin acara saja telat.
15. Penanggung jawab acara sering kurang melakukan kontrol terhadap keterlambatan peserta forum, apalagi memberinya sangsi yang seharusnya diberikan.
Efek dari keterlambatan:
1. Mempengaruhi keseluruhan agenda acara karena ia hadir di tengah acara atau bahkan hampir selesai
2. Mengganggu forum, karena ia banyak bertanya tentang segala sesuatunya dimana ia terlewatkan karena tidak ikut membahasnya.
3. Tidak adanya efisiensi waktu dalam forum, karena harus balik kembali pada pembahasan yang sebelumnya telah disepakati, sebab ia belum menyepakati hasil kesepakatan yang sudah lewat akibat keterlambatannya.
4. Bersikap tidak ambil peduli terhadap suatu keputusan karena ketidakikutsertaannya di dalam forum
5. Kebiasaan terlambat sudah menjadi bagian dari hidupnya
6. Tidak terlalu peduli untuk menanyakan kapan waktu acaranya dan dimana tempatnya, karena memang sering terlambat.
7. Membuat orang lain “segan” untuk menasehatinya karena selau saja ada alasan “bagus” keterlambatannya.
Solusinya:
1. Menentukan waktu pelaksanaan acara yang sesuai kondisi para anggota
2. Berkoordinasi dengan pihak lain yang merupakan bagian dari anggota agar tidak terjadi benturan waktu pelaksanaan acara/agenda
3. Perlu diadakannya pertemuan khusus secara personal untuk mengetahui kondisi internal setiap anggota
4. Harus ada inovasi dan variasi dalam menyelenggarakan sebuah acara agar tidak monoton dan membosankan
5. Membangun kesadaran setiap anggota bahwa ke”ada”an mereka sangat penting dalam setiap acara, dengan memberikan peran kepada setiap anggota dalam sebuah acara
6. Harus ada kejelasan waktu dan tempat acara, dan tidak menjadikan kebiasaan untuk mengubah waktu dan tempat acara, karena hal itu dapat membangun image “asal-asalan” dalam membuat acara.
7. Mendidik diri agar selalu tepat waktu dalam setiap agenda karena kalau tidak dimulai darinya maka “penyakit” ini tidak akan pernah sembuh dan bisa menular ke anggota lainnya serta memahami efek negative dari keterlambatannya.
8. Membaca buku tentang bagaimana pandangan syariat terhadap undangan dan kebiasaan terlambat
9. Membantu anggotanya cara manajemen waktu, agar dapat mengikuti seluruh program organisasi
10. Memberikan peringatan kepada anggota yang terlambat, namun cara memberi peringatannya harus sesuai dengan kondisi dan karakter individu
11. Para penanggung jawab acara/agenda harus menjadi panutan dalam hal ketepatan waktu, apapun konsekuensinya
12. Adanya alternatif, variasi dan pergeseran waktu yang telah terencana dalam pelaksanaan program dari waktu ke waktu
13. Mengakomodasi dan mendengarkan pendapat anggota pada saat merumuskan program dan mengikutsertakan mereka dalam menentukan waktu pelaksanaan jika hal itu memungkinkan.
14. Membuat buku absensi/catatan kehadiran untuk mengetahui tingkat partisipasi anggota dalam setiap agenda
15. Membuat tim atau individu yang ditunjuk untuk mengingatkan program organisasi berupa “penegak disiplin” yang juga melakukan kontrol dan evaluasi secara berkala.
16. Membuat kejutan pada acara/agenda tertentu dengan memberikan hadiah kepada anggota yang tepat waktu sebagi bentuk apresiasi ketepatan waktunya.

Iqra'

  • Petunjuk jalan
  • Paradigma Alqur'an
  • Menuju jama'atul Muslimin
  • Laskar pelangi
  • Dakwah salafiyah dakwah bijak
  • Benturan Peradaban