Selasa, 10 November 2009

Demokrasi VS Demonscrazy

Memakai demokrasi

Diantara kelebihan sistem demokrasi yang pernah diperjuangkan secara mati-matian dalam menghadapi para tiran ialah menuntun ke beberapa bentuk dan sarana yang hingga kini dianggap sebagai satu-satunya sistem yang member jaminan keselamatan bagi rakyat dari jarahan tangan para tiran, sekalipun sistem ini tidak lepas dari cacat dan kekurangan, seperti lazimnya perbuatan manusia yang tidak lepas dari kekurangan.
Tidak ada salahnya bagi manusia, pemikir dan para pemimpinnya untuk mencari alternative lain yang lebih ideal dan lebih baik, tapi harus lebih mudah diterapkan dalam kehidupan manusia. Tidak ada salahnya mengambil pelajaran dari sistem demokrasi sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan dan syura, menghormati hak-hak manusia dan menghadang para tiran di muka bumi.
Tidak ada satu pun ketetapan syariat yang berisi larangan mengambil pemikiran teoritis maupun pemecahan praktis dari non muslim. Sewaktu perang ahzab Nabi SAW mengambil pemikiran dengan cara membuat parit, yang itu berasal dari bangsa Persi. Beliau juga memanfaatkan tawanan perang badar dari orang-orang musyrik yang bisa baca tulis untuk mengajari anak-anak muslim sekalipun mereka itu orang-orang musyrik. Kita mengambil pemikiran, sistem, metode dan aturan yang bermanfaat bagi kita, selagi tidak bertentangan dengan nash yang jelas makna dan hukumnya dan kaidah hukum yang tetap. Dari sini kita bisa mengambil tatacara demokrasi dan kandungan-kandungannya yang sesuai denga diri kita. Kita bisa menyaring dan membenahinya. Kita tidak perlu mengambil filsafatnya yang bisa menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal atau yang mengugurkan kewajiban.
Pemilihan umum
Jika kita memperhatikan sistem pemilihan umum atau pemberian suara, maka kita akan melihat bahwa ternyata menurut Islam hal ini termasuk kesaksian yang diberikan kepada kandidat. Maka setiap pemilih harus memenuhi syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang saksi, seperti harus adil dan diridhai perilakunya. Firman Allah,
“Dan, persaksikanlah dengan dua orang adil di antara kalian.” (Ath-Thalaq: 2).
“….dari saksi-saksi yang kalian ridhai.” (Al-Baqarah: 282).
Syarat-syarat adil dan sifat-sifat lainnya bisa kita ringankan, sesuai dengan kondisi. Kesaksian ini bisa diberikan umat dalam jumlah sebanyak-banyaknya. Siapa yang memberikan kepada kandidat yang tidak layak untuk dipilih, berarti dia telah melakukan dosa besar, karena sama dengan memberikan kesaksia palsu. Bahkan Allah menyebutkan perbuatan ini setelah syirik kepada Allah,
“Oleh karena itu jauhilah oleh kalian berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.” (Al-Hajj: 30).
Siapa yang memberi kesaksian atau suara kepada kandidat dengan pertimbangan bahwa kandidat itu merupakan kerabatnya atau orang yang berasal dari satu daerah atau karena untuk mendapatkan keuntungan pribadi, berarti dia menyalahi perintah Allah. Firman-Nya,
“Dan, hendaklah kalian tegakkan keadilan itu karena Allah.”(Ath-Thalaq: 2).
Barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya, sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti dia telah menyalahi perintah Allah untik memberi kesaksian pada saat dia dibutuhkan untuk memberi kesaksian. Firman-Nya,
“Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil.” (Al-Baqarah: 282).
“Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah: 283).
Dengan menambahkan petunjuk-petunjuk tentang pemilihan umum ini, maka jadilah ia sebagai tatanan Islam, sekalipun pada dasarnya sistem ini kita impor dari luar.
Hukum rakyat dan hukum Allah
Seruan untuk memberlakukan sistem demokrasi bukan berarti harus menolak kedaulatan Allah untuk menetapkan hukum bagi manusia. Orang-orang yang menyeru kepada demokrasi sama sekali tidak pernah berpikir sampai di sini. Karena yang mereka tuju hanya sekedar menelok diktatorisme yang berkuasa, menolak kekuasaan para penguasa yang sewenang-wenang, yang mereka maksud dari demokrasi ialah pemberdayaan rakyat untuk memilih penguasa seperti yang mereka kehendaki, memperhitungkan perilaku mereka, menolak perintah mereka jika bertentangan dengan undang-undang negara, yang diistilah menurut Islam: jika mereka memerintah kepada kedurhakaan. Mereka berhak mencopot para penguasa yang menyimpang, tidak mau menerima nasihat dan peringatan.
Prinsip kedaulatan penetapan hukum milik Allah merupakan prinsip Islam yang pokok, yang ditetapkan semua ulama tatkala membahas masalah hukum syariat. Mereka sepakat bahwa yang menetapkan hukum adalah Allah. Sedangkan Nabi SAW merupakan penyampainya. Allah yang berhak memerintah dan melarang, menghalalkan dan mengharamkan, membuat dan menetapkan hukum.
Tentang pendapat golongan khawarij, “Tidak ada hukum kecuali milik Allah.” Memang pendapat yang benar. Tetapi yang tidak benar adalah tindakan mereka yang meletakkan kalimat ini tidak pada tempatnya dan penggunaan kalimat ini sebagai dalil untuk menolak pengangkatan manusia sebagai pengadil jika terjadi perselisihan. Tentu saja hal ini bertentangan dengan nash Al-Qur’an yang menetapkan bolehnya mengangkat manusia sebagai pengadil diantara suami istri yang sedang cekcok dan berselisih.
Oleh karena itu Amirul Mukminin, Ali bin Abu Thalib menolak pendapat mereka dengan berkata, kata-kata yang benar namun dimaksudkan bathil. “Perkataan mereka itu benar, tetapi sayang mereka memaksudkannya secara batil.”
Kedaulatan Allah untuk menetapkan hukum bagi makhluk ada dua macam:
1. Kedaulatan menetapkan hukum alam berdasarkan takdir.
2. Kedaulatan menetapkan hukum yang diperintahkan, yaitu berupa pembebanan, perintah, larangan, keharusan dan pilihan, yang tercermin dengan diutusnya para rasul dan kitabnya. Dengan kedaulatan ini Allah menetapkan hukum-hukum syariat, mewajibkan yang wajib, mengharamkan yang haram dan menghalalkan yang halal.
Orang muslim mengajak kepada demokrasi, dengan pertimbangan karena demokrasi itu merupakan bentuk penetapan hukum yang menyatu dengan prinsip-prinsip politik Islam dalam memilih seorang pemimpin dan menetapkan syura, melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, melawan kesewenang-wenangan, menolak kedurhakaan, terutama jika kedurhakaan itu sudah menjurus kepada kufur yang jelas berdasarkan bukti keterangan dari Allah.
Jadi ajakan untuk menetapkan sistem demokrasi tidak mesti menganggap hukum rakyat sebagai pengganti dari hukum Allah, selagi tidak ada pertentangan di antara keduanya.
Suara mayoritas
Pertama yang harus ditekankan bahwa kita berbicara tentang demokrasi di masyarakat muslim, karena itu bagaimanapun juga masih banyak di antara mereka yang mengetahui, berfikir, beriman dan bersyukur. Kita tidak perlu membicarakan apa yang terjadi pada masyarakat kafir atau menyimpang dari jalan Allah.
Hukum-hukum yang kongkrit tidak bisa dicampuri keputusannya lewat pengambilan suara (voting), tidak ada tempat bagi sistem voting untuk memasuki ketetapan-ketetapan syariat yang sudah kongkrit dan dasar-dasar agama serta hal-hal yang sudah diketahui secara pasti. Sistem voting hanya berlaku pada hal-hal yang bersifat ijtihad, yang biasanya bisa mengandung berbagai macam pendapat, seperti penetapan untuk menentukan perang atau tidak, penetapan pajak tertentu atau tidak, penetapan masa jabatan pemimpin, penetapan pemilihan umum, membuat undang-undang menata lalu lintas, membangun fasilitas perdagangan, industri, rumah sakit (UU rumah sakit) dan pendidikan.
“Sesungguhnya syetan itu bersama satu orang, dan dia lebih jauh dari dua orang.” (HR. Tirmidzi dan Hakim)
Nabi SAW pernah bersabda kepada Abu bakar dan Umar,
“Andaikata kalian berdua sama-sama menyepakati satu pendapat tentu aku tidak akan meyalahi kalian berdua.” (HR. Ahmad).
Yang paling nyata mengenai masalah ini adalah sikap umar tentang enam orang yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk oleh umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus yang akan memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sedangkan lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka yaitu Abdullah bin Umar.
Pendapat yang menyatakan bahwa pengunggulan hanya berlaku untuk pendapat yang benar sekalipun hanya mendapat satu suara dan kesalahan harus ditolak sekalipun mendapat Sembilan puluh Sembilan suara dari seratus jumlah totalnya, berlaku untuk masalah-masalah yang dikuatkan nash syariat, dengan nash yang kuat, jelas dan tidak mengundang perbedaan dan perselisihan pendapat. Sedangkan masalah-masalah ijtihadiyah yang tidak ada nash-nya atau ada nash-nya namun mengundang lebih dari satu penafsiran, atau ada nash lain yang bertentangan dengannya tau lebih kuat darinya, maka tidak tertutup kesempatan untuk menggunakan mana yang lebih diunggulkan agar menuntaskan silang pendapat. Adapaun sistem voting yang sudah diketahui dan disepakati manusia, termasuk orang-orang muslim, merupakan cara yang tepat untuk itu. Tidak ada dalam syariat yang melarang sistem ini.
Syura
Hingga kini masih ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa syura hanya sekedar memberi masukan dan bukan sebagai badan yang menetapkan, pemimpin bisa meninta pertimbangan, tetapi tidak harus tunduk kepada pendapat ahli syura, yang notabenenya merupakan Ahlul halli wal aqdi (badan legislatif). Perlu diingat bahwa syura akan tidak ada artinya sama sekali jika pemimpin meminta pertimbangan kepada dari ahli syura namun kemudian dia berbuat berdasarkan pertimbangan terbaik menurut dirinya sendiri, seraya menyingkirkan pendapat ahli syura.
Ibnu katsir menyebutkan dalam tafsirnya, bahwa Ali bin Abi thalib pernah ditanya tentang makna “membulatkan tekad” dalam surat Ali Imran ayat 159, “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.” Maka dia menjawab, maknanya adalah meminta pertimbangan ahli syura lalu mengikutinya.
Kebebasan berpolitik
Peperangan pertama yang dihadapi dakwah, harakah dan kebangkitan Islam pada zaman sekarang adalah peperangan melawan kebebasan. Islam harus diberi kebebasan yang tidak hanya terbatas sehingga dapat membumikan kembali konsep kesempurnaannya. Maka mereka yang masih memiliki ghirah terhadap Islam harus membentuk barisan satu barisan untuk masuk dalam politik dan sekaligus mempertahankannya.
Perlu kami tegaskan juga bahwa sebenarnya kami termasuk orang yang kurang suka menggunakan istilah-istilah asing, seperti istilah demokrasi, untuk mengungkapkan beberapa pengertian Islam. Kami lebih suka menggunakan istilah-istilah Islam untuk mengungkapkan nilai dan pengertian-pengertian Islam. Sebab hanya cara inilah yang paling tepat untuk mengungkapkan jati diri dan kelebihan kita.
Tetapi jika suatu istilah sudah merebak dan semua orang menggunakannya, mau tidak mau kita tidak bisa menutup telinga dan mata. Kita harus tahu apa yang dimaksudkannya agar kita tidak memahaminya menurut pengertiannya yang hakiki atau kita menginterpretasikannya secara tidak tepat atau tidak seperti dikehendaki orang-orang yang menyatakannya. Dengan ini kita bisa menghukuminya secara benar dan berimbang. Kita tidak perlu risau karena kata-kata ini berasal dari selain kita. Yang menjadi pertimbangan hukum bukan terletak pada nama atau istilahnya, tetapi apa yang ada dibalik nama itu.
Banyak orang muslim berharap kepada demokrasi sebagai satu bentuk hukum, jaminan untuk kebebasan, perlindungan keamanan dan kesewenang-wenangan penguasa, sehingga mencerminkan kehendak umat. Demokrasi merupakan sarana untuk mencapai kehidupan yang terhormat, agar dalam suasana demokrasi ini bisa menyeru kepada Allah dan kepada Islam seperti yang kita imani. Di samping itu agar rakyat mendapatkan kehidupan yang bebas dan terhormat, memperoleh hak untuk memilih para pemimpin, memperhitungakan dan mencopotnya jika menyimpang, tanpa harus mengobarkan revolusi atau pertumpahan darah.

Tidak ada komentar:

Iqra'

  • Petunjuk jalan
  • Paradigma Alqur'an
  • Menuju jama'atul Muslimin
  • Laskar pelangi
  • Dakwah salafiyah dakwah bijak
  • Benturan Peradaban