Kamis, 12 November 2009

The clash of civilization

Salah satu tesis pada akhir abad ke 20 adalah the clash of civilization yang pertama kali dicetuskan oleh Samuel P. Huntington. Tesis tersebut disampaikan oleh Huntington pada tahun 1993 dan telah mengundang sejumlah perdebatan hingga tahun ini. Pada awalnya tesis ini masuk dalam wilayah kajian politik internasional yang merupakan bidang keahlian yang ditekuni Huntington. Hanya saja, pendapat sarjana ini kemudian ditanggapi oleh berbagai orang dari berbagai wilayah keilmuan. Cukup disadari bahwa tesis tersebut telah mengubah sejarah umat manusia.
Tesis ini sejalan dengan dengan gerak globalisasi yang juga didominasi Negara-negara barat di kawasan Amerika utara dan Eropa. Karena itu tesis Huntington seakan-akan mempertegas bahwa baratlah yang paling baik di dunia saat ini. Bukan hanya itu, tesis Huntington seolah-olah mengajak umat Islam untuk sadar bahwa kebudayaan mereka sudah tidak layak dipertahankan di muka bumi. Alasannya adalah kebudayaan ini tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai modernitas yang dikembangkan oleh barat.
Huntington tidak ingin mengatakan ideology dan ekonomi sebagai pemicu konflik di dunia. Adanya kesalahan sejarah yang menganggap bahwa tujuan dari penjajahan semata-mata hanya karena kepentingan politik, ekonomi dan ideology. Huntington ingin memperlihatkan bahwa kepentingan yang paling mendesak untuk dilakukan adalah bagaimana menarik negara-negara non-barat untuk bergabung dengan Negara barat dalam rangka membuat “sejarah baru”. Sejarah ini bermaksud menempatkan baratlah yang dibutuhkan, apa yang dapat dipahami bahwa kepentingan barat terhadap non-barat adalah menguasai apa yang mereka miliki. Bingkai yang digunakannya adalah peradaban, jika tidak bergabung dengan barat, maka konflik yang diramalkan olehnya akan benar-banar terjadi.
Menurut Huntington ada beberapa peradaban di dunia ini yaitu peradaban barat, konfusius, jepang, Islam, Hindu, Ortodoks, Slavia, Amerika latin dan mungkin juga Afrika. Dari peradaban tersebut tampaklah bahwa Huntington mencampurkan unsure agama, Negara, kawasan dan etnik dalam pembagiannya. Hal ini menunjukkan adanya tumpang tindih pemahaman yang dipahami Huntington. Huntington menyebutkan enam alasan mengapa akan terjadi benturan peradaban: 1). Perbedaan peradaban tak hanya riil, namun juga mendasar. 2). Dunia yang semakin menyempit. 3). Proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial dunia membuat orang atau masyarakat tercabut dari identitas lokal. 4). Tumbuhnya kesadaran peradaban dimungkinkan karena peran ganda barat. 5). Karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa menyatu dan karena itu kurang bisa berkompromi. 6). Regionalisme ekonomi semakin meningkat. Hanya saja Huntington lebih menonjolkan bahwa benturan yang dimaksud adalah antara Islam dan barat.
Salah satu maksud dari tesis ini yaitu sebagai upaya konsolidasi dan mempertahankan eksistensi Negara-negara barat dengan mencari atau menciptakan “musuh bersama” yaitu peradaban Islam. Musuh bersama sengaja dimunculkan bukan untuk kepentingan peradaban barat namun untuk kepentingan ekonomi dan politik. Dengan demikian, sangat wajar bila tesis Huntington ini menjadi alat legitimasi bahwa Islam adalah ancaman serius bagi barat.
Pada bagian akhir bukunya Huntington tidak lagi membicarakan persoalan peradaban, namun lebih kepada bagaimana kesiapan barat dalam menghadapi ancamannya yaitu Islam. Huntington memang tidak berniat untuk mendamaikan peradaban namun lebih memperwujudkan musuh bersama demi kepentingan barat. Untuk itu Huntington ada dua target yang ingin dicapai yaitu: target jangka pendek, konsolidasi negara-nagara barat dalam berbagai bidang, membangun kerja sama dengan Rusia dan Jepang, membatasi ekspansi kekuatan militer negara-negara konfusius dan Islam, mempertahankan superioritas militer barat di Asia, mengekploitasi perbedaan dan konflik-konflik antara negara-negara Islam, mendukung peradaban lain yang simpatik dan sesuai kepentingan barat, memperkuat dominasi Negara barat dalam lembaga-lembaga internasional sebagai alat legitimasi kepentingan barat dan meningkatkan negara lain dalam lembaga tersebut. Jangka panjang, peradaban barat adalah barat dan modern, tidak ada negara-negara non-barat yang ingin menjadi modern melainkan harus mengambil posisi sesuai dengan barat yaitu berusaha mendamaikan modernitas (barat) dengan nilai dan budaya lokal, barat harus mengenali unsur-unsur kesamaan barat dengan peradaban-peradaban lain.
Kemenangan ideologi liberalisme demokratik atas sosialisme menimbulkan kepercayaan diri yang luar biasa di kalangan masyarakat Barat, sehingga mereka menganggap ideologinya bersifat universal. Barat, khususnya Amerika Serikat, kemudian menjadi bangsa misionaris yang memaksa bangsa-bangsa non-Barat mau menerapkan nilai-nilai demokrasi Barat, pasar bebas, pemerintahan yang terbatas, menjunjung tinggi HAM, individualisme, aturan hukum, serta pemisahan agama dan negara. Padahal, nilai-nilai tersebut acapkali tak bergaung dalam budaya Islam, Konghucu, Jepang, Hindu, Budha, ataupun Ortodoks.
Konflik antara Islam dan Barat (kristen) pada akhir abad XX dapat dilihat dari beberapa faktor: Pertama, pertumbuhan penduduk muslim yang begitu pesat menyebabkan terjadinya banyak pengangguran dan mendorong anak-anak muda masuk anggota kelompok Islamis dan bermigrasi ke Barat. Kedua, kebangkitan Islam memberi keyakinan bahwa nilai-nilai Islam lebih luhur daripada Barat. Ketiga, intervensi Barat terhadap konflik-konflik di dunia Islam menimbulkan rasa sakit hati. Keempat, runtuhnya komunisme menyebabkan Barat dan Islam saling berhadap-hadapan sebagai musuh. Kelima, terjadinya hubungan dan percampuran antara Islam dan Barat menstimulasi identitas keduanya yang berbeda. Kebangkitan Islam ini juga dipengaruhi oleh faktor demografi, yakni peningkatan jumlah penduduk muslim yang mencengangkan selain pengaruh melonjaknya harga minyak. Antara 1965-1990, penduduk Maghribi meningkat dari 29,8 milyar menjadi 59 milyar. Di Asia Tengah (1970-1993) naik 2,9%, di Tajikistan 2,6%, di Uzbekistan 2,5%, dst. Pada 1980, penduduk muslim sekitar 18% dari penduduk dunia. Pada 2000, menjadi 20% dan 30% pada tahun 2025.
Kini, Huntington kembali meluncurkan buku barunya, berjudul Who Are We?: The Challenges to America's National Identity. Huntington adalah ilmuwan politik dari Harvard University yang juga dikenal sebagai penasihat politik kawakan Gedung Putih. Di samping pernah menduduki jabatan-jabatan prestisius di bidang akademis, Huntington juga aktif terlibat dalam perumusan kebijakan luar negeri AS. Tahun 1977-1978 ia bekerja di Gedung Putih sebagai Coordinator of Security Planning for the National Security Council.
Jika di dalam The Clash of Civilizations Huntington masih tidak terlalu tegas menyebut ''Islam'' sebagai alternatif musuh baru bagi Barat, maka dalam bukunya, Who Are We? ia menggunakan bahasa yang lebih lugas, bahwa musuh utama Barat pasca Perang Dingin adalah Islam yang ia tambah dengan predikat ''militan''. Namun, dari berbagai penjelasannya, definisi ''Islam militan'' melebar ke mana-mana, ke berbagai kelompok dan komunitas Islam, sehingga definisi itu menjadi kabur.
Dalam Who Are We? Huntington menempatkan satu sub-bab berjudul Militant Islam vs America, yang menekankan, bahwa saat ini, Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS. (This new war between militant Islam and America has many similarities to the Cold War). Jadi, Huntington memang menggunakan istilah ''perang'' (war) antara AS dengan Islam militan. Jika saat berperang dengan Uni Soviet yang memiliki persenjataan seimbang dengan AS, masih digunakan istilah ''Perang Dingin'' maka sekarang predikat ''Dingin'' sudah tidak ada lagi.
Penggunaan istilah war merupakan refleksi kebijakan baru politik AS sebagaimana disarankan Huntington. Saat berdialog dengan Anthony Giddden, pada late spring 2003, Huntington mendukung dilakukannya preemptive strike terhadap kaum militan. Nasihat Huntington memang telah dijalankan. Pada awal Juni 2002, doktrin preemptive strike (serangan dini) dan defensive intervention (intervensi defensif) secara resmi diumumkan. Melalui doktrin ofensifnya yang baru ini, AS telah mengubah secara radikal pola ''peperangan'' melawan ''musuh''. Sebelumnya, di masa Perang Dingin saat menghadapi komunis, AS menggunakan pola containtment (penangkalan) dan deterrence (penangkisan). Kini menghadapi musuh baru yang diberi nama Islam militan AS menggunakan pola preemptive strike dan defensive intervention.
Dari kasus doktrin preemptive strike ini tampak bagaimana pola pikir ''bahaya Islam'' atau ''ancaman Islam'' yang dikembangkan ilmuwan seperti Huntington, berjalan cukup efektif. Dengan doktrin itu, AS dapat melakukan berbagai serangan ke sasaran langsung, meskipun tanpa melalui persetujuan PBB. Pola pikir Huntington, bahwa ''Islam'' lebih berbahaya dari ''komunis'' juga tampak mewarnai kebijakan politik dan militer AS tersebut.
Tentu saja, yang penting kemudian adalah pendefinisian siapa yang dimaksud sebagai ''musuh baru yang lebih bahaya dari komunis?'' Dalam Who Are We? Huntington menyebut, yang disebut sebagai Islam militan bukan hanya Usamah bin Ladin atau kelompok Al Qaidah. Tetapi, banyak kelompok lain yang bersifat negatif terhadap AS. Kata Huntington, sebagaimana dilakukan oleh Komunis Internasional dulu, kelompok-kelompok Islam militan melakukan protes dan demonstrasi damai, dan partai-partai Islam ikut bertanding dalam pemilihan umum. Mereka juga melakukan kerja-kerja amal sosial. Dengan definisi dan penggambaran seperti itu, banyak kelompok Islam yang dimasukkan ke dalam kategori militan, dan layak diserang secara dini.
Sebagaimana ilmuwan ''neo-orientalis'' lainnya, seperti Bernard Lewis, Huntington juga tidak mau melakukan kritik internal terhadap kebijakan AS yang imperialistik sebagaimana banyak dikritik oleh ilmuwan-ilmuwan seperti Noam Chomsky, Paul Findley, dan Edward Said. Ia tidak mengakui bahwa kebijakan AS yang membabi buta mendukung kekejaman dan penjajahan Israel adalah keliru dan menjadi satu sebab penting tumbuhnya ketidakpuasan dan kemarahan kaum Muslim dan umat manusia. Ia hanya mau menunjukkan bahwa Islam adalah potensi musuh besar dan bahaya bagi Barat dan AS khususnya. Ia menampilkan polling di sejumlah negeri Islam yang menunjukkan, sebagian besar kaum Muslim sangat tidak menyukai kebijakan AS. Misal, sebuah polling di sembilan negara Islam, antara Desember 2001-Januari 2002, menampilkan realitas opini di kalangan Muslim, bahwa AS adalah ''kejam, agresif, sombong, arogan, mudah terprovokasi dan bias dalam politik luar negerinya.''
Tetapi, Huntington tidak mau menampilkan fakta bahwa kebencian masyarakat Barat (Eropa dan rakyat AS sendiri) terhadap kebijakan-kebijakan politik AS juga sangat besar. Bahkan, jauh lebih besar dari apa yang terjadi di kalangan Muslim. Di dunia Islam, tidak ada demonstrasi besar-besaran diikuti ratusan ribu sampai jutaan orang dalam menentang AS seperti yang terjadi di berbagai negara Eropa dan di dalam AS sendiri. Banyak ilmuwan dan tokoh AS, seperti Chomsky, William Blum, yang tanpa ragu-ragu memberi julukan AS sebagai a leading terrorist state, atau a rogue state. Karena itu, sangatlah naif, bahwa ilmuwan seperti Huntington ini justru mencoba menampilkan fakta yang tidak fair dan sengaja membingkai Islam sebagai musuh baru AS.
Huntington, Bernard Lewis, dan kawan-kawannya terus berkampanye agar negara-negara Barat lain juga mengikuti jejak AS dalam memperlakukan Islam sebagai alternatif musuh utama Barat, setelah komunis. John Vinocur, dalam artikelnya berjudul Trying to Put Islam on Europe's Agenda, (International Herald Tribune, 21 September 2004), mencatat, But Huntington insists Europe's situation vis-a-vis Islam is more acute. Skenario inilah yang dirancang kelompok ''neo-konservatif'' di AS, yang beranggotakan Yahudi-Zionis, Kristen fundamentalis, dan ilmuwan konfrontasionis. (Lihat buku The High Priests of War (Washington DC: American Free Press, 2004), karya Michel Colin Piper).
Tanpa pendefinisian yang jelas terhadap ''Islam militan'', maka itu akan menyeret kaum Muslim lainnya. Itu, misalnya, menimpa Thariq Ramadhan dan Yusuf Islam, yang dilarang memasuki AS. Begitu juga ribuan warga Muslim yang menerima perlakuan tidak manusiawi. Dalam sub-bab berjudul The Search for an Enemy, Huntington mencatat, bahwa pasca Perang Dingin, AS memang melakukan pencarian musuh baru, yang kemudian menemukan musuh baru bernama ''Islam militan'', setelah peristiwa WTC. Huntington menulis: Sebaiknya Amerika datang untuk melihat kelompok-kelompok fundamentalis Islam, atau lebih luas politik Islam, sebagai musuh yang dicontohkan di Irak, Iran, Sudan, Libya, Afghanistan di bawah Taliban, dan untuk tingkat yang lebih rendah negara-negara muslim lainnya, dan juga dalam kelompok-kelompok teroris Islam seperti Hamas, Hizbullah, Jihad Islam, dan al-Qaeda. kesenjangan budaya antara Islam dan Kristen Amerika dan Anglo-Protestanism musuh Islam memperkuat kualifikasi itu. Dan pada 11 September 2001, Osama bin Laden Amerika mengakhiri pencarian. Serangan terhadap New York dan Washington diikuti oleh perang dengan Afghanistan dan Irak dan lebih tersebar perang terhadap terorisme membuat Islam militan menjadi musuh pertama di Amerika di awal abad duapuluh ini.
Di sini, tampak, bahwa sangatlah sulit dunia Islam menerima standar AS dalam soal Islam militan. Dunia Islam, misalnya, tetap menolak memasukkan Hamas atau Jihad Islam di Palestina, sebagai kelompok teroris, sebab mereka melakukan perjuangan membebaskan negeri mereka dari penjajahan Israel. Buku Who Are We? memang masih merupakan kelanjutan garis berpikir Huntington dalam soal Islam dari buku The Clash of Civilizations. Sebagaimana Lewis, Huntington sudah jauh-jauh hari mengingatkan Barat agar mereka waspada terhadap perkembangan Islam. Sebab, Islam adalah satu-satunya peradaban yang pernah menggoyahkan dan mengancam peradaban Barat.
Karena itulah, Huntington memperingatkan, pertumbuhan penduduk Muslim merupakan satu faktor destabilitas terhadap masyarakat Muslim dan lingkungannya. Jumlah besar kaum muda Muslim dengan pendidikan menengah akan terus memperkuat kebangkitan Islam dan militansi Islam, militerisme, dan imigrasi. Hasilnya, pada awal-awal abad ke-21, Barat akan menyaksikan kebangkitan kekuatan dan kebudayaan non-Barat dan sekaligus benturan antar-masyarakat non-Barat atau dengan Barat.
Sebagaimana buku The Clash of Civilizations, buku Who Are We? perlu dicermati dalam konteks skenario politik global terhadap Islam, yang sebenarnya merupakan satu upaya ''viktimisasi Islam'' untuk menutupi berbagai kesalahan kebijakan AS. Apakah Barrack obama sebagai presiden AS mampu keluar dari ''skenario Huntington''? Biasanya sulit. Tapi, siapa tahu?

Tidak ada komentar:

Iqra'

  • Petunjuk jalan
  • Paradigma Alqur'an
  • Menuju jama'atul Muslimin
  • Laskar pelangi
  • Dakwah salafiyah dakwah bijak
  • Benturan Peradaban