Senin, 15 September 2008

Urgensi berpolitik di kampus

Urgensi berpolitik di kampus

Asal dari perintah yang tertulis dalam Al-Qur’an adalah wajib. Dari ayat “serulah manusia kepada jalan Tuhan dengan hikmah dan mau’idzati hasanah.........” merupakan kalimat perintah dakwailah, serulah atau ajaklah, yang secara sadar hal ini adalah wajib, yang dikaitkan dengan proses transformasi mengajak manusia menuju kebaikan itu adalah suatu hal yang harus dilakukan oleh kita sebagai seorang muslim tanpa terkecuali, yang kewajiban ini melekat sepanjang umur kita.

Dalam ayat lain dikatakan bahwa salah satu ciri seorang mukmin adalah melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar (dakwah). Ayat ini sangat kuat dikomentari oleh para muffasir diantaranya Al qurthubi dalam kitab tafsirnya “Allah menjadikan pembeda antara mukmin dan munafik” sehingga amar ma’ruf dan nahi mungkar dilekatkan sabagai ciri dan karakter mukmin. Sebaliknya orang munafik mereka tolong-menolong dalam nahi mungkar dan mencegah amal ma’ruf.

Siapapun diantara kita memiliki kewajiban dakwah. Dalam segi fiqhi para ulama berbeda pendapat soal status kewajibannya apakah fardhu ain atau fardhu kifayah? Bertolak dari ayat yang sama yaitu “Hendaklah ada diantara kamu, umat yang menyeru kepada kebaikan menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran......”(Ali Imran: 110) dalam ayat ini ulama berbeda memahami huruf min, Min dalam minkum pada ayat ini sebagian ulama memahami sebagai min tab’idiyyah (adalah min yang membatasi), hendaklah ada sebagian umat diantara kamu, dengan demikian menyimpulkan bahwa dakwah adalah fardhu kifayah karena hanya cukup sebagian orang (orang-orang tertentu). Bermula lagi dengan ayat yang sama, ulama lain memahami min yang digunakan dalam ayat ini adalah min bayyaniyyah (min yang bertujuan untuk menjelaskan), hendaklah seluruh dari kalian menjadi umat. Nah, para ulama berbeda pendapat apakah dakwah itu fardhu ain atau fardhu kifayah, berangkat dari memahami huruf min dalam ayat ini apakah min tab’idiyyah ataukah min bayyaniyyah.

Dalam kitabnya Al mathal ila ‘ilimidda’wah, syekh Muhammad Abdul Haqi Albayanuni mengatakan, kita tidak perlu mempersoalkan apakah dakwah fardhu ain atau kifayah, karena keduanya telah bertemu dalam tiga aspek:

Pertama, para ulama yang berbeda sama-sama memahami wajibnya dakwah, tidaklah ada ulama yang mengatakan bahwa dakwah itu adalah sunnah.

Kedua, ulama yang memiliki kepahaman fardhu ain, tetap memiliki batasan yang mensyaratkan person yang mengeksekusi hal ini harus memiliki ‘ilm dan Istitha’ah (ilmu dan kemampuan) dan orang-orang yang mempunyai dua hal inilah yang terkena kewajiban ain dari dakwah. Oleh karena itu ulama yang menghukumi dakwah sebagai wajib ain, tetap saja dibatasi oleh kelompok orang yang memiliki ‘ilm dan istitha’ah (tidak semua orang berkriteria demikian). Disisi lain, ulama yang memahami dakwah fardhu kifayah, kifaiyyah artinya sampai tercukupinya suatu kebutuhan. Kifayah jangan dipahami seperti sholat jenazah, kalau dipahami seperti ini sering digambarkan bahwa jenazahnya satu, maka yang cukup lima orang yang mensholatinya, lainnya menjadi gugur kewajibannya, namun bagaimana jika jenazahnya mencapai jumlah 7000 orang seperti kasus gempa yang diterjadi di Jogja atau 200 ribu sebagaimana tsunami yang melanda Aceh, apakah cukup dengan hanya 5 orang? Tentu saja tidak, perlu 5 kali lipat dari jumlah jenazah. Maka walaupun ulama yang memahami fardhu kifayah, tidak ada batasan, harus saja setiap orang terkena kewajiban ini sampai tercukupinya kebutuhan. Apabila belum tercukupi jumlah orang yang melakukan dakwah di masyarakat maka setiap orang terkena kewajiban ini, jika hanya dengan Aa Gym berceramah kemana-mana, masyarakat telah menjadi baik dan nilai-nilai ilahiyah telah terintenalisasi dalam tubuh umat, maka kita telah hilang kewajibannya. Begitu pula kalau hanya dengan organisasi Muhammadiyah dan Nahdatul ulama sudah mampu mencerahkan umat maka kita cukup tidur saja, karena sudah dicukupi oleh Muhammadiyah dan NU. Realitanya berbicara lain, maksiat masih merajalela, kalimat rabbani masih diremehkan dan Allah masih sering diduakan, semua umat islam memiliki kewajiban dakwah secara personal sampai seluruh nilai agama terbumikan.

Ketiga, kendatipun jumlah yang berdakwah telah tercukupi, namun fitrah dakwah sebagai sebaik-baiknya perkataan tetap saja harus berlanjut, karena setiap orang akan mengejar hadiah ini, tanpa harus mengkonfrontir apakah dakwah fardhu ain atau fardhu kifayah, dakwah sebagai sabaik perkataan dan perbuatan tetap berlaku sepanjang zaman dan tempat dimanapun kita berada tanpa adanya pembatasan.

Karena kita memahami dakwah adala sebuah kewajiban bagi kita, maka dimana saja kita berkiprah, misi kita adalah dakwah. Dengan slogan “kita adalah da’i sebelum kita menjadi sesuatu yang lain”. Inilah yang menjadi mentalitas dan motivasi, kita merupakan makhluk Allah yang telah terikat dengan amanah dakwah dan kita akan menyebarkannya diberbagai bidang kehidupan tanpa terkecuali. Atribut yang lain sekarang sedang kita sandang, hanyalah mengikuti celupan dakwah, oleh karena itu meskipun kita terjun ke berbagai macam ranah dan sisi kehidupan, sekaligus sebagai tuntutan profesi yang sedang kita geluti, tetap tanamkan dalam otak bawah sadar bahwa kita adalah da’i yang akan senantiasa menyebarkan luaskan aroma syurga.

(bersambung....)

Tidak ada komentar:

Iqra'

  • Petunjuk jalan
  • Paradigma Alqur'an
  • Menuju jama'atul Muslimin
  • Laskar pelangi
  • Dakwah salafiyah dakwah bijak
  • Benturan Peradaban