Ada apa dengan saya?
“Demi masa, sesungguhnya (semua) manusia dalam kerugian (dalam berbagi aspek), kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran” (QS. Al-Asr: 1-3)
Ayat di atas mengingatkan kepada kita semua yang mengaku sebagai seorang muslim, bahwa semua kita akan masuk dalam kelompok orang-orang yang rugi dalam berbagai dimensi kehidupan jika kita meninggalkan salah satu kultur dan mentalitas untuk saling menasehati dengan landasan iman dan persaudaraan, tidak hanya pasif namun juga aktif. Entah apakah ada yang salah dengan kondisi sosial kita saat ini? Mengapa kultur untuk saling menasehati menjadi begitu lemah, kalau tidak mau dikatakan hilang? Mungkin sudah menjadi stereotip (pandangan umum) bahwa orang yang dapat memberikan nasihat secara legal hanyalah seorang ustadz, akibatnya banyak orang yang takut atau ragu untuk menasehati.
Inilah salah satu penyakit yang sedang menyerang kita wahai para aktivis dakwah, penyakit akut (karena InsyaAllah bisa disembuhkan dengan kesungguhan). Banyak para aktivis dakwah yang mengatakan atau mungkin lebih tepatnya bertanya, “ mengapa dakwah ini semakin lemah? Apakah ada yang salah dengan strategi dakwah kita? Bagaimana hasil rekrutmen?”, dan lain-lain yang semuanya dilingkupi dengan sikap pesimistis, karena hampir semua program yang dijalankan tidak menununjukkan keberhasilan, terukur atau tidak terukur. Maka mulailah kita coba berhenti sejenak, dengan satu pertanyaan penting, apa yang salah ya? Sistem ataukah individu yang berada dalam sistem? Sepertinya dua-duanya. Dari Qur’an Surat Al-Asr bisa memberikan jawaban pada kita semua wahai ikhwah, bahwa keberuntungan yang bersekata dengan kesuksesan dan keberhasilan dalam dakwah tidak akan tercipta kalau pada saat yang sama budaya saling menasehati para aktivis jama’ah mulai redup. Ada yang berpendapat, tapi ada berhasilnya juga sekalipun kondisinya demikian. Ya, betul dan bisa kita katakan bahwa hal itu merupakan efek karena masih ada satu atau dua orang diantara sekian banyak anggota jama’ah yang masih menggigit budaya nasehat ini. Andaikan saja jika seluruh dari para ikhwah juga ikut menggigit budaya ini, tentu kita yakin kesuksesan demi kesuksesan akan menyertai. Kebalikan dari sebuah kerugian adalah keberuntungan alias “untung”, maka jika kita ingin untung saat melakukan manuver-manuver dakwah, lakukanlah hal ini, apakah itu? Saling menasehati, tumbuhkan budaya saling menasehati, InsyaAllah kita akan segera melihat efeknya ada berkah dan keajaiban dari Allah dan betul pertolongan Allah itu sangatlah dekat wahai ikhwah.
Sebenarnya juga sahabatku sekalian, kita sudah paham dengan hadits rasulullah Saw “Barangsiapa diantara kamu melihat suatu kemungkaran maka ubahlah dengan tanganmu, jika tidak sanggup ubahlah dengan ucapanmu (lisan maupun tulisan), jika tidak sanggup juga maka ubahlah dengan hatimu, namun yang demikian itu adalah tanda bahwa imanmu saat itu dalam kondisi lemah”. Ketika budaya saling menasehati telah hilang di tengah-tengah kita, lalu apalagi yang bisa diandalkan untuk memperbaiki orang lain, sekaligus orang lain dapat memperbaiki diri kita. “Agama adalah nasehat”. Adakah yang lebih besar selain meninggikan dan menjaga agama ini? Salah satu ciri agama kita adalah karena di dalamnya ada sebuah sistem kontrol masyarakat yang diberi nama nasehat. Manusia sebagai makhluk sosial tidak pernah lepas dari kesalahan ego yang melingkupi dirinya, selalu lupa, kadang dzalim, pernah juga melakukan kesalahan. Tidak ada manusia yang sempurna, setiap kita pasti pernah melakukan kesalahan dalam bertindak, merasa dan berpikir, untuk itulah perlu “sahabat” yang mengontrol, mengembalikan pada rel yang semestinya. Allah SWT memberikan begitu banyak pelajaran kepada kita dalam Al-Qur’an, Rasulullah Saw pernah ditegur langsung oleh Allah karena berperilaku kurang seimbang saat menghadapi dua pilihan tamu yaitu kaum Qurays atau Abdullah ummi maktum (yang buta), beliau lebih cenderung kepada Qurays dan itu adalah manusiawi, apalagi jika para pembesar Qurays tersebut menjadi bagian dari Islam tentu efeknya sangat luar biasa bagi perkembangan Islam jangka panjangnya, ini cukup strategis. Begitulah kira-kira menurut kita, namun Allah menghendaki lain, ini tidak sesuai harus segera diluruskan (dinasehati). Apakah ini kemudian menjadi aib bagi Rasulullah Saw karena kejelekan (kesalahan) beliau terbongkar dan tertulis dalam Al-Qur’an dibaca oleh seluruh umatnya? Tidak, sama sekali tidak, adalah pelajaran untuk kita semua, banyak ibrah yang Allah suguhkan hanya dengan satu peristiwa ini, diantaranya adalah betapa pentingnya nasehat. Lain lagi dengan kisah nabi Musa As, saat diperintahkan oleh Allah Swt untuk menasehati Fir’aun beliau meminta kepada Allah agar diberikan seorang sahabat sejati yang dapat senantiasa bersamanya, menjadi “sahahat kontrol”, untuk selalu memberikan nasehat karena memang tugas itu sangat berat perlu kekokohan idealitas dan konsistensi kredibilitas dan kondisi spiritualitas yang prima maka tentunya membutuhkan teman sejati yaitu nabi Harun As.
Jika hal ini terus dibiarkan maka bukan hal yang mustahil jika budaya untuk saling menasehati antar sesama ikhwah akan hilang dan menjadi untaian kata yang langka di kalangan para aktivis dakwah. Adakah yang mematikan kultur ini? Apa indikasinya? Latar belakang munculnya perilaku ini bagaimana? Semestinya ada solusi untuk kembali menyuburkan dan menanam bibit-bibit nasehat ini? Untuk itu kita akan menuliskannya untuk anda semua.
Indikasi
1. Terjadinya banyak penyimpangan yang terang-terangan, tetapi luput dari pantauan pihak atau orang yang seharusnya memberikan peringatan dan nasihat.
2. Berbagai kesalahan terjadi secara akumulatif, salah berjama’ah sehingga takut untuk melakukan autokritik, karena gue juga ikut terlibat “jeruk makan jeruk”.
3. Lemahnya jama’ah untuk melakukan tindakan nyata dalam mengatasi hal ini.
4. Berkembangnya kebiasaan mencari “domba hitam”dari sebuah kesalahan atau memberi interpretasi (anggapan) atas sebuah perilaku dengan beragam cara.
Latar belakang
1. Salah dalam memahami sebagian ungkapan orang-orang zuhud, yaitu menyuruh kita untuk menyibukkan diri dengan kesalahan dan aib pribadi.” Gajah di pelupuk mata tidak nampak, namun semut di seberang lautan nampak”.
2. Merasa takut akan perubahan sikap saudaranya jika ia menasehatinya.
3. Ia merasa takut jika nasehatnya tidak diterima.
4. Ia merasa khawatir jika menasehatinya maka saudaranya itu akan lari darinya dan akan cenderung tertutup serta menimbulkan hubungan yang kaku.
5. Ia khawatir jika menasehatinya maka saudaranya itu akan marah padanya.
6. Ia mengira bahwa saudaranya yang berbuat salah itu memiliki interpretasi dan argumen yang kuat sehingga dapat membenarkan kesalahannya.
7. Terlalu berlebihan dalam berbaik sangka.
8. Lemahnya rasa cinta kepada Allah yang pada akibatnya setiap individu terlalu sibuk dengan dengan urusannya sendiri.
9. Dugaan yang salah bahwa berbagai kegiatan jama’ah dalam bidang pembinaan atau tarbiyah mampu menyelesaikan semua kesalahan dan penyimpangan.
10. Lemahnya support system yang terarah pada program yang mengarah pada pembentukan akhlaq untuk saling memberi nasihat.
11. Lemahnya ilmu syar’i yang dimiliki.
Solusi
1. Memfokuskan untuk mengikis perilaku ini (tidak mau saling menasehati), khususnya di awal bergabungnya seseorang dalam jama’ah, yaitu disela-sela berbagai kegiatan organisasi yang bersifat tarbawiyah secara terus-menerus disetiap fase tanpa henti dengan berbagai macam cara dan bentuk.
2. Perlu dipahamkan tentang gambaran syar’i yang lengkap tentang perilaku menyimpang, baik kecil maupun besar, dan setiap individu hendaknya mengetahui hal ini secara baik, karena bisa jadi individu yang akan memberikan nasehat tidak memahami apakah hal yang telah dilakukan saudaranya termasuk perilaku menyimpang atau mungkin malah sepemahaman dengan saudaranya itu.
3. Sekali-kalin perlu dihadirkan sosok-sosok panutan yang pandai memberi nasihat di hadapan orang yang enggan saling menasehati. Jika pun tidak secara fisik bisa pula menitipkan pesan melalui tulisan untuk dibahas (seperti yang dilakukan syaikhut tarbiyah ustadz Rahmat Abdullah kepada adiknya, di film sang Murabbi).
4. Hendaknya ada tulisan, semacam risalah kecil, untuk mengupas masalah ini, lalu diterbitkan dan dibagikan kepada individu anggota jama’ah.
5. Pemberian tugas secara pekanan atau bulanan kepada dua orang individu untuk bisa menerapkan konsep saling menasihati (tanashuh) antara keduanya sehingga hal itu menjadi mentalitas dan kebiasaan mereka (melakukan program Anshor-Muhajirin, siapakah yang menjadi kaum anshar dan Muhajirin).
Salah satu penyakit yang sedang menggerogoti kita saat ini adalah kurang adanya sikap saling menasihati. Jika kita tidak ingin rugi dan akan senantiasa untung dan untung terus maka pilihannya hanya satu yaitu mulai tumbuhkan budaya saling menasihati diantara saudara kita, apalagi kita berada dalam sebuah organisasi yang sama, dalam lingkaran dakwah yang sama, memiliki visi yang sama dan juga frekuensi merasa yang tidak berbeda, energi dakwah akan menyebar merambah semua aspek kemenangan, saat internal kumpulan para aktivis dakwah mulai sadar bahwa kita adalah saudara yang diejawantahkan dengan perilaku saling menasehati. Kapankah kita akan memulai? Wallahu ‘alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar