Sabtu, 20 September 2008

Neo-Mahasiswa masa depan

Neo-Mahasiswa masa depan

Tahun demi tahun telah kita lewati, SD menuju SMP, naik ke SMA dan sekarang telah menginjakkan kaki di perguruan tinggi alias universitas. Apa yang anda rasakan saat ini? Ya, perasaan syukur. Betapa banyak sahabat-sahabat kita yang belum bisa seperti kita, tidak dapat masuk ke perguruan tinggi karena masalah biaya, masalah keluarga, masalah lingkungan, ataupun masalah-masalah supranatural yang tidak mampu direkayasa oleh manusia serta mungkin yang lebih propagandis adalah banyak sahabat kita yang tidak sempat melanjutkan menuju jenjang yang prestisius ini, bukan karena masalah-masalah di atas namun kepastian yang terlalu cepat menjemput yaitu kematian. Sekali lagi bersyukurlah sahabatku “Maka nikmat tuhan manakah lagi yang kamu dustakan (tidak diingat-ingat, dicuekkin)”.

Ada hal yang fundamental yang harus ditanyakan pada diri kita, saat kita telah meletakkan kaki di universitas. Masa kulliyah (berasal dari bahasa arab yang berarti menyeluruh dan berwawasan luas) tidak sama dengan saat SMA, atmosfer universitas berbeda dengan atmosfer saat kita SMA, dimensi waktu dan ruangpun boleh dikatakan memiliki disparitas yang lumayan jauh. Pertanyaan apakah itu? Apa tujuan kita kulliyah? Mengapa saya harus kulliyah? Bagaimana cara saya menjalani kehidupan kulliyah? Dimana saya mengoptimalkan segala potensi yang telah diberikan? Kapan saya akan menemukan semua jawaban itu secara mendalam? Dan yang paling penting adalah untuk siapa kita berepot-repot kulliyah? Ketika kita telah menemukan jawabannya maka semua itu akan menjadi energi terbesar bagi kita suatu ketika saat ingin melakukan quantum laboratorim kehidupan kampus (lompatan akademis). Selamat berfikir!

Mahasiswa termasuk dalam kelas menengah ditinjau dari kasta kehidupan modern, saat siswa menggandeng kata Maha, maka siswa menjadi lebih besar dan memiliki sifat seakan-akan sempurna. Saat ini kita bukan lagi siswa akan tetapi ingat baik-baik kita adalah mahasiswa (siswa yang excellent), manusia di atas rata-rata, inti dari masyarakat, insal kamil dan pembelajar tanpa batas. Ada semacam tuntutan sosial saat kita menyandang status mahasiswa (buktinya tertulis di kartu mahasiswa), tuntutan sosial dari seluruh masyarakat lokal maupun internasional. Apakah mahasiswa hanya sekedar embelan ataukah mahasiswa mampu membumikan dirinya diparit dan lembah problem bangsa. Dimanakah mahasiswa saat ini? Lagi tidur ataukah lebih sibuk dengan urusan sendiri “egoistis-semu”, yang penting saya senang, yang penting saya lancar, yang penting saya tidak susah, yang penting saya dapat apa yang saya inginkan, yang penting bukan saya dan yang penting saya-yang penting saya lainnya serta yang lebih parah lagi saat mahasiswa itu dirasa telah mati dalam kehidupan (sampah saja masih bisa memberikan manfaat). Apakah benar hati kita telah menjadi batu? Semoga tetesan air kebenaran mampu melubangi hati ini.

Mari kita mengenal makhluk-makhluk kampus yang jumlahnya sangat dominan yaitu mahasiswa. Ada beberapa model mahasiswa yang akan kita jumpai saat kita masuk dalam gedung ilmiyah ini dengan berbagai style, pertama, model mahasiswa gaya hotel yaitu menjadikan seluruh aktivitasnya hanya sekedar rutinitas, tanpa sadar apalagi berfikir. Bangun pagi (kasur), pergi kulliyah (kampus), pergi makan (kantin), terus tidur lagi. Hampir tiap hari dalam lingkaran syetan kasur-kampus-kantin-kasur-kampus-kantin. Ujung-ujungnya ke hotel (kos) alias tidur. Kedua, model mahasiswa gaya rumah sakit yaitu perilaku sok jagoan karena merasa paling pintar sendiri, tidak ada orang lain yang lebih berjasa darinya akibatnya muncul sifat sombong dan tidak merasa perlu dengan orang lain “saya yang paling tahu dan saya tidak butuh anda”. Dokter dan pasien merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rumah sakit. Saat dokter mengatakan” beruntung anda datang ke saya, kalau tidak nggak bakalan deh ente sembuh” namun apa kata si pasien “eh, eh, eh, dokter tuh yang bakalan nggak dapat duit kalau saya tidak datang ke ente”. Masing-masing merasa lebih dan paling top. Ketiga, model mahasiswa gaya pasar yaitu semuanya pokoke, pokoknya saya dikirim uang, pokoknya saya tanda tangan absen, pokoknya saya ada foto kopian materinya, pokoknya saya dapat nilai A, pokoknya absen saya 75 %. Yang tertanam di otaknya hanyalah pokok (pondasi) tanpa harus ada bangunan pun di atasnya no problem, mahasiswa tipe ini cenderung minimalis dan formalis, tidak berani berkreasi dan melakukan terobosan baru, takut menjadi lebih karena akan merubah zona nyamannya akibatnya tidak kritis terhadap lingkungan. Komentarnya hanya” saya mah pokoke”. Keempat, model mahasiswa gaya kuburan yaitu sunyi, senyap, tenang dan tanpa suara. Mahasiswa yang cenderung introvet (menutup diri), tidak suka bergaul, jarang berkomunikasi, sering diam, memiliki kecerdasan emosional yang rendah dan yang lebih fantastis adalah tidak memiliki kepedulian terhadap masyarakat (namanya juga kubur). Kelima, model mahasiswa gaya masjid yaitu mampu menyeimbangkan antara kecerdasan intelektual, emosional dan spritual. Ketika orang malaksanakan sholat di masjid harus berlandaskan kepahaman atas setiap gerakan yang dilakukannya (ada dalilnya) maka dibutuhkan kecerdasan intelektual, masjid mampu memberikan suasana spritualitas saat kita beaktivitas di dalamnya, menambah kedekatan kita dengan Allah karena masjid merupakan rumah Allah akibatnya kecerdasan spritual kita diasah. Dimulai saat adzan berkumandang mengajak setiap muslim untuk shalat di masjid secara berjamaah dengan gerakan sholat yang teratur dan sama, dipimpin oleh imam dan diakhiri dengan salam ke kanan dan kiri adalah bagian dari mengasah kecerdasan emosional. Mengapa? Panggilan adzan ke masjid mengajak saudara kita untuk bersama-sama masuk ke syurga, tidak individualistis. Gerakan sholat yang teratur dan sama melambangkan frekuensi emosional yang seirama, hal ini dilatih saat sholat dan salam ke kanan-kiri pun memiliki makna kebersaman dan keselamatan, kita mendoakan saudara kita yang berada di kanan-kiri (seluruh makhluk bumi) lebih mengasah kecerdasan emosional kita. Ada pula yang mengatakan mahasiswa ideal saat tiga skill cendekiawan tertata dengan baik, apakah itu? Satu, tertib akademis, tertib organisasi dan tertib ibadah. Model mahasiswa yang kelima inilah sebagai profil Neo-mahasiswa masa depan yang menjadi wadah pembentukan karakter kita. Differensiasi dari model mahasiswa ini dapat kita tuliskan dalam tiga tingkatan pencapaian. Awalnya setiap mahasiswa mulai berfikir siapakah saya saat ini, maka mulai melukiskan saya adalah seperti apa yang saya pikirkan, coba untuk meraba-raba dan tentu sifatnya sangat spekulatif. Kemudian dilanjutkan dengan pencarian jati diri dengan intervensi lingkungan yang sangat dominan “saya adalah apa yang lingkungan bentuk dan katakan tentang saya”, sifatnya sangat empiris-estimatif. Nah tingkatan berikutnya adalah saya adalah seperti apa yang diinginkan oleh Allah dan Rasulnya. Proses pembentukan diri sesuai dengan kehendak sang khaliq dan inilah idealitas yang sedang kita tuju, semoga Allah memberikan kemudahan untuk mencapainya.

Peran mahasiswa mahasiswa masa depan mencoba untuk melakukan internalisasi nilai dan perbaikan sistem, struktur serta menyelesaikan problem yang ada di masyarakat. Mahasiswa tidak hanya dituntut untuk menjadi intelektual mekanik (itulah kenyataannya) namun juga perlu menjadi intelektual organik. Intelektual mekanik nampaknya seperti robot, hanya sekedar kulliyah untuk mendapatkan IPK (Indeks prestasi kumulatif) yang tinggi’Cum laude’ akan tetapi belum mampu melakukan penetrasi nilai dan perbaikan di masyarakat sekitar, masyarakat belum mampu untuk dijadikan sebagai laboratorium ilmiyah dalam setiap spesifikasi keilmuwan. Mahasiswa akan mengalami problem saat melihat adanya kesenjangan antara teori dan apa yang sebenarnya terjadi (realitas). Intelektual organik muncul untuk melakukan perbaikan dan mengumpulkan semua potensi masyarakat, menata, mengatur dan mengarahkannya pada tempat yang tepat, sudah semestinya inilah tugas seorang mahasiswa, dalam upaya berinteraksi dengan masyarakat. Tidak sekedar teori!

Sistem yang digunakan dalam praktek pendidikan di Perguruan Tinggi sejalan dengan sistem pendidikan nasional yang berlaku pula di semua jenjang pendidikan. Ada nuansa baru dalam sistem pendidikan nasional kita yang bisa memberi peluang kearah pendidikan yang mencerahkan, mencerdaskan dan membebaskan. Hanya saja persoalanya adalah pada kultur pendidikan kita yang sudah terpola sekian lama untuk berorientasi pada pendidikan mekanistis-materialistis. Padahal orientasi pendidikan seperti ini sulit untuk mengarahkan pada pembentukan karakter manusia kritis-konstruktif-inovatif yang peka terhadap problem-problem masyarakat sebagai manifestasi insan tercerahkan dan cerdas. Orientasi mekanistis-matrialistis ini pula yang kebanyakan dipraktekkan oleh banyak perguruan tinggi kita baik negeri maupun swasta yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.

Dikatakan mekanistis karena sistem pendidikannya terpaku pada bentuk kurikulum dan teaching plan yang kaku, yang steril terhadap unsur-unsur dinamika pengetahuan peserta didik dan problem masyarakat. Dosen dalam sistem ini seolah telah melakukan tugasnya dengan baik ketika ia telah menjalankan kurikulum dan teaching plan dengan baik tanpa peduli ada proses pencerahan dan pencerdasan dalam diri mahasiswa atau tidak. Sistem mekanis ini menghalangi proses interaksi yang diskursif dalam ruang-ruang kelas yang lebih memberi kebebasan kepada mahasiswa untuk mengembangkan ilmunya tanpa harus menunggu “suapan” dari sang dosen. Mahasiswa yang terlalu kritis dalam sistem mekanis akan dicap sebagai “mahasiswa sulit” yang akan merusak kurikulum, silabi, dan segala perangkat perangkat pendidikan lainnya.

Materialisme dapat diartikan sebagai faham yang menegasikan dimensi ruhiyah (spiritual) dan salah satu doktrinnya adalah menganggap agama sebagai candu (Lorens Bagus, 1996). Ironisnya, pembelajaran yang berlangsung di perguruan tinggi-perguruan tinggi justru menggunakan pendekatan-pendekatan materialistik yang kental. Ini terlihat dalam proses transformasi pengetahuan dan nilai-nilai moral yang lebih cenderung menekankan penguasaan materi-materi pengetahuan tanpa bobot moral-spiritual memadai. Akibatnya, pendidikan tinggi tidak mampu-untuk tidak mengatakan gagal-membentuk karakter manusia cerdas dan bermoral.

Di kelas, mahasiswa hanya disodori setumpuk pengetahuan material, baik dalam buku-buku teks maupun proses belajar mengajar. Yang terjadi adalah proses pengayaan pengetahuan kognitif tanpa upaya internalisasi nilai. Akibatnya, terjadi kesenjangan yang jauh antara apa yang diajarkan dengan apa yang terjadi dalam kehidupan sehar-hari mahasiswa. Pendidikan bagi mereka laksana pisau yang tumpul, tidak mampu mengubah sikap-perilaku mereka.

Pedagogi (ilmu tentang cara mengajar) yang diterapkan dunia pendidikan Indonesia, termasuk pembelajaran di perguruan tinggi, sejauh ini lebih menekankan unsur kognitif (pengetahuan) ketimbang afektif (perilaku/sikap). Transformasi ilmu bersifat amat mekanis di mana siswa dijejali seperangkat materi ilmu pengetuan atau informasi. Pembelajaran yang demikian akhirnya berubah menjadi proses pembebanan berlebihan yang memasung anak didik. Mahasiswa lalu merasa ditekan dan tersiksa tanpa bisa menikmati-nya. Inilah mungkin sebuah pedagogi yang oleh Kurt Singer (seperti dikutip Sindhunata, Kompas, 19/2/ 2001) disebut sebagai schwarzer paedagogic, pedagogi hitam.

Tak bisa dipungkiri bahwa dunia perguruan tinggi dewasa ini adalah laksana mesin industri yang siap memproduksi anak didik sesuai dengan pesanan user (pengguna). Para user perguruan tinggi sebagian besar berasal dari dunia industri yang kapitalistik, sehingga berakibat langsung terhadap pola-pola kapitalisme dalam dunia perguruan tinggi. Perguruan Tinggi yang semestinya sebagai ujung tombak dalam melakukan kritik ideologi dan kritik sosial-politik-ekonomi, malah terjebak dalam kubangan kapitalisme global yang menguntungkan para pemilik modal. Kapitalisasi pendidikan juga berakibat pada mutu pendidikan yang senantiasa diukur oleh standar-standar pendidikan yang dikehendaki kalangan industri. Kapitalisasi ini pula yang menjerat perguruan tinggi untuk mengikuti logika pasar sehingga biaya pendidikannya juga terdongkrak tinggi. Dalam situasi seperti ini, mereka yang berduit sajalah yang bisa mengakses dunia perguruan tinggi.

Masih dalam jebakan kapitalisme perndidikan, perguruan tinggi pun banyak yang rela menjual idealismenya sebagai institusi pendidikan terkemuka kepada sistem permintaan pasar yang liberatif, sehingga tak heran jika pasar menghendaki sistem pendidikan instan, maka perguruan tinggi pun akan melayani itu demi menjaga market (pasar). Berbagai macam bentuk perkuliahan, seperti kelas ekstensi, kelas pararel, kelas jauh, kelas kerjasama yang merupakan bentuk dari sistem pendidikan instan, juga jual-beli gelar yang marak dewasa ini dapat dimaklumi dalam kerangka kapitalisasi pendidikan.

Pendidikan di mata Freire, sebagaimana yang dikutip oleh Henry A. Giroux (1999), merupakan sebuah pilot project dan agen untuk melakukan perubahan sosial guna membentuk masyarakat baru. Sebagai dasar untuk melakukan perubahan, pendidikan merupakan wadah dan “surat perjanjian” dengan masyarakat yang memegang dominasi untuk menentukan kehidupan sosial di masa yang akan datang. Bagi Freire, pendidikan memuat konsep sekolah di dalamnya, yakni tempat di mana manusia menciptakan, sekaligus menjadi hasil, hubungan-hubungan sosial dan pedagogis. Sehingga, masih menurut Freire, pendidikan perupakan tempat, pertama, untuk mendiskusikan masalah-masalah politik dan kekuasaan secara mendasar, karena pendidikan menjadi ajang terjalinnya makna, hasrat, bahasa dan nilai-nilai kemanusiaan. Kedua, untuk mempertegas keyakinan secara lebih mendalam tentang apa sesungguhnya yang disebut manusia dan apa yang menjadi impiannya. Dan ketiga, untuk merumuskan dan memperjuangkan masa depan.

Sebagai sebuah dasar untuk melakukan perubahan, pendidikan merupakan tindakan yang menggabungkan antara rekayasa politik dan upaya untuk menciptakan berbagai alternatif kehidupan yang baru. Pendidikan juga menjadi ajang untuk menuangkan komitmen yang tinggi dari para pendidik guna menciptakan sistem politik yang lebih emansipatif, bukan sekedar memenuhi tuntutan pedagogis (mengejar kurikulum) semata. Ini semua dilakukan oleh dunia pendidikan untuk mendekatkan pendidikan dengan perubahan struktur masyarakat dan negara yang lebih memberi peluang terciptanya keadilan sosial tanpa penindasan. Dalam sistem pendidikan ini, seluruh elemen pendukung proses belajang mengajar diarahkan untuk menciptakan manusia kritis-emansipatif-partisipatoris.

Perguruan tinggi adalah salah satu yang dipilih untuk menjadi yang terdepan dalam melakukan emansipasi pendidikan. Apalagi tugas-tugas transformasi sosial-politik pendidikan akan lebih pas jika perguruan tinggilah yang menjadi ujung tombak. Hal ini logis, karena dalam lingkungan perguruan tinggi tersedia sumber daya manusia yang siap melakukan “praktek” teori, sekaligus ditunjang oleh peserta didik yang sudah cukup dewasa untuk terjun langsung di masyarakat. Akan tetapi, jika melihat problem yang dihadapi perguruan tinggi sebagaimana tertulis di atas, rasanya cukup berat upaya-upaya untuk merevitalisasi perguruan tinggi sehingga menjadi perguruan tinggi yang membebaskan.

Sedikitnya adalah ada lima hal yang perlu diperhatikan untuk menjadikan perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan yang dapat mencetak Neo-mahasiswa masa depan. Pertama, perguruan tinggi harus menyiapkan kurikulum yang lebih banyak menyerap kearifan lokal dalam rangka menjadikan problem masyarakat sekitar sebagai laboratorium ilmiah paling otentik. Mahasiswa sebagai partisipan aktif proses pendidikan akan terbiasa menjadi problem solver masyarakat dan diharapkan bisa terus berperan akfif dalam proses-proses transformasi masyakatar. Mahasiswa akan menjadikan problem yang ada di masyarakat sebagai wahana untuk diobservasi, diteliti, dan dicoba untuk diberi solusi-solusi alternatif. Mahasiswa dalam hal ini akan terlibat, misalnya, dalam resolusi konflik, penanggulangan penyakit masyarakat, pemberdayaan petani dan nelayan, advokasi tindak kekerasan, advokasi nasib buruh, pembelaan terhadap nasib pedagang kaki lima, melakukan kontrol terhadap proses politik di parlemen dan sebagainya.

Kedua, perguruan tinggi harus mendayagunakan potensi ilmiahnya untuk proses-proses sosial dan politik. Banyak dijumpai dalam kegiatan ilmiah perguruan tinggi sesuatu yang “mewah” bagi masyarakat. Penelitian dosen dan mahasiswa lebih banyak mengarah kepada pelembagaan teori ketimbang aplikasi dan uji teori dalam menyelesaikan problem sosial-politik-budaya masyarakat. Hasilnya, teori semakin berkembang, sekaligus persoalan masyarakat kian menjamur dan tak tertanggulangi. Kegiatan ilmiah perguruan tinggi harus berkiblat pada dinamika sosial-politik masyarakat.

Ketiga, Mahasiswa dan dosen diberi kebebasan mimbar akademik untuk lebih mengekspresikan sikap ilmiah yang kritis dan bertanggungjawab. Kebebasan mimbar akademik adalah atmosfer untuk membangun sikap kritis-inovatif-kreatif. Manifetasi dari uapaya ini adalah mengembangkan kelompok-kelompok kritis dosen dan mahasiswa dan memberi ruang yang selebar-lebarnya bagi mereka untuk berekspresi dalam ranah ilmiah-politis dan politis-ilmiah. Untuk hal ini mahasiswa dan dosen harus mempunyai wadah yang independen, yang steril dari campur tangan kepentingan-kepentingan tertentu.

Keempat, dalam proses belajar mengajar lebih mengarah kepada model pembelajaran partisipatoris yang active learning. Dosen sebagai sumber ilmu dalam paradigma pembelajaran konvensional harus digeser dengan pembelajaran partisipatoris yang menjadikan mahasiswa sebagai pusat (students centre). Konsekuensi dari model pembelajaran seperti ini adalah banyak dibutuhkan strategi pembelajaran aktif seperti: active knowledge sharing (saling tukar pengetahuan), assessment search (mencari kesan), active debate (debat aktif), team quiz (kuis kelompok), inquiring minds want to know (melihat kemampuan siswa), keep on learning (belajar terus), peer lessons (mengajar sesama teman), information search (mencari informasi), silent demonstration (demonstrasi bisu), practice-rehearsal pairs (simulasi perpasangan), lightening the learning climate (menghidupkan suasana belajar), dan sebagainya.

Kelima, perguruan tinggi harus memberi kesempatan seluas-luasnya kepada segenap lapisan masyarakat untuk dapat mengaksesnya. Perguruan tinggi jangan hanya menjadi “kumpulan” masyarakat tertentu yang ada bakcing modal, karena ini akan mempersempit ruang perguruan tinggi sebagai ajang pembelajaran rakyat. Memang kendala untuk bisa mewujudkan hal ini tidak mudah, apalagi di tengah iklim kompetitif antar perguruan tingi yang menuntut perguruan tinggi bisa menunjukkan branch image sebagai perguruan yang modern dan “wah”, dan ini membutuhkan biaya mahal (high cost). Perguruan tinggi dalam hal ini harus mampu menggali dana dari sumber lain sehingga bisa menekan biaya pendidikan yang dibayar mahasiswa. Jika seluruh kelas dan lapisan masyarakat mampu mengakses dunia perguruan tinggi, maka akan tampak lebih dinamis dan diskursif suasana pembelajaran di ruang-ruang kuliah.

Sejarah telah membuktikan bahwa keagungan suatu masyarakat adalah tercermin daripada kualitas perguruan tinggi masyarakat tersebut. Sayangnya, umat Islam hari ini lebih banyak mendirikan universitas yang hanya meniru pola dan model universitas masyarakat Barat. Padahal universitas Islam sepatutnya berbeda dari universitas Barat baik dalam bentuk, konsep, struktur dan epistimologinya. Universitas (al-kulliyah)) harus dapat membentuk manusia universal yaitu manusia sempurna. Oleh sebab itu seorang ulama atau sarjana bukanlah seorang spesialis dalam salah satu bidang keilmuan, tetapi seorang yang universal dalam cara pandangnya terhadap kehidupan dan mempunyai otoritas dalam beberapa bidang keilmuan yang saling terkait.

Penyataan Naquib al-Attas dalam hal ini sangat jelas.

“Sebuah universitas Islam mempunyai struktur yang berbeda dengan universitas Barat, mempunyai konsep ilmu yang berbeda dengan apa yang dianggap sebagai ilmu oleh para pemikir Barat, mempunyai tujuan dan aspirasi yang berbeda dengan konsepsi Barat. Tujuan dari pendidikan tinggi dalam Islam adalah untuk membentuk ‘manusia sempurna’ ataupun ‘manusia universal’… seorang ulama Muslim bukanlah seorang spesialis dalam salah satu bidang keilmuan tetapi ia adalah seorang yang universal dalam cara pandangnya dan mempunyai otoritas dalam beberapa bidang keilmuan yang saling berkaitan.[1]

Karena universitas Islam modern yang berdiri di negara muslim hari ini lebih merupakan fotokopi universitas Barat, maka orientasi yang menggiring para mahasiswa kepada nilai-nilai kehidupan sekuler lebih dominan ketimbang usaha-usaha kearah penanaman pandangan hidup Islam. Pengaruh Barat juga terlihat dalam situasi kebebasan akademik di universitas-universitas itu. Kebebasan masih difahami sebagai kebebasan yang seluas-luasnya sebagaimana yang banyak ditemui dalam cara berfikir Muslim modernis, yang dalam bidang keagamaan bisa diartikan sebagai penentangan terhadap otoritas ulama dan taqliq. Padahal kekebasan akademis bukanlah berarti bebas sebebasnya tanpa ikatan-ikatan keilmuan. Kebebasan akademik adalah kebebasan dalam arti “ikhtiyar“, yakni kebebasan memilih yang lebih baik (khayr) berdasarkan kepada ilmu pengetahuan. Taqliq bukan berarti mengikuti sesuatu dengan membabi buta, tetapi mengikuti seseorang yang mempunyai otoritas ilmu pengetahuan.

Pengertian ini sejatinya juga terjadi di dunia akademis di mana seorang ilmuwan yang lebih muda mengikuti atau memakai pendapat atau teori ilmuwan senior yang lebih pakar. Oleh sebab itu ijtihad bukanlah berpendapat dengan sesuka hati atau dengan sebatas pengetahuan pribadi, tapi berpendapat berdasarkan pada pengetahuan ulama terdahulu yang memiliki otoritas dalan bidang masing-masing. Ijtihad tidak berarti mengkesampingkan otoritas ulama terdahulu sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok modernis yang cenderung mengikuti cara berpikir Barat, khususnya gaya-gaya Protestan dalam melawan otoritas gereja.

Selain itu kurikulum di Universitas Islam perlu direkonstruksi agar dapat lebih mengarah kepada penanaman ilmu pengetahuan Islam yang berstruktur dan konseptual. Materi ilmu Fardu Ayn yang berupa Aqidah, Tauhid atau pokok-pokok ajaran islam pada jenjang pendidikan rendah dan menengah mestinya dikembangkan menjadi materi wajib pada jenjang pendidikan tinggi. Di perguruan tinggi ilmu Fard Ayn dapat dikembangkan menjadi Ilmu Tafsir, ilmu Hadith, ilmu Fiqih, ilmu Kalam dan ulumul qur’an dan lain sebagainya. Disini konsep-konsep tentang Tuhan, manusia, alam, akhlaq dan tentang Din dikaji secara mendalam. Itu semua hendaknya diajarkan sehingga dapat menjadi fondasi bagi pengkajian disiplin ilmu lain atau ilmu fardhu kifayah. Disini sumber pengetahuan inderawi, aqli dan intuisi disatukan dalam suatu cara berfikir yang integral. Integral artinya tidak berfikir dualistis: obyektif dan subyektif, idealistis dan realistis. Dengan cara itu dikotomi (pemisahan/sekulerisasi) ilmu pengetahuan, agama dan umum, yang telah begitu merasuk ke dalam kurikulum pendidikan Islam akibat dari sekularisasi pemikiran dapat secara perlahan-lahan dihilangkan.

Kesimpulannya adalah mahasiswa sebagai pemimpin perubahan, mulai saat ini berani untuk menghentakkan pijakannya untuk menjadi pembelajar yang idealis dan konsisten mengarah pada basis penguatan ideologi (Aqidah), pemahaman terhadap syari’at (aturan islam) dan menjadi manusia yang beradab (memiliki kekuatan moral). Disusul dengan mendukung setiap proyek-proyek kebaikan dan mengkritisi hal apapun yang berbau kebatilan pada level kampus ataupun masyarakat dan yang terakhir adalah memberikan kontribusi dan pengorbanan untuk bisa memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada bangsa ini. Ilmu yang kita miliki harus dipastikan bahwa itu menjadi bagian dari batu bata dalam membangun imperium peradaban Islam. Wallahu a’lam



Tidak ada komentar:

Iqra'

  • Petunjuk jalan
  • Paradigma Alqur'an
  • Menuju jama'atul Muslimin
  • Laskar pelangi
  • Dakwah salafiyah dakwah bijak
  • Benturan Peradaban