Jumat, 15 Agustus 2008

PRINSIP DAKWAH DAN POLITIK IKHWANUL MUSLIMIN

Di penghujung masa penjajahan dan sesudahnya, berbagai gerakan islam mendapatkan bahwa masyarakat telah terpengaruh oleh propaganda penjajah yang mempersempit islam hanya dalam wilayah ritus – ritus ibadah. Ini didukung oleh kebodohan dan jauhnya umat islam dari pemahaman yang benar tentang islam di satu sisi, ditambah kesibukan pemerintah dan kelemahannya hingga jatuh di bawah pengaruh penjajah bersama antek – anteknya, di sisi lain.

Akibatnya, orang – orangpun kecuali yang dirahmati Allah; terjerumus dalam paham sekuler: memisahkan agama dari politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Mereka pura – pura lupa bahwa islam memiliki kepedulian terhadap segenap urusan kehidupan, bahwa kekuasaan eksekutif merupakan bagian integral dari ajaran islam dan bergerak di bawah naungan hukum – hukumnya, bahwa kemerdekaan politik dan kebanggan berbangsa merupakan salah satu dari rukun islam dan bagian yang diharuskan, dan bahwa tatanan sosial merupakan bagian integral dari ajaran islam.

Oleh sebab itu, para ulama memperkenalkan misi kekhalifahan sebagai ”politik dunia dan agama”.

Ibnu rajab dan ulama lainnya mendefinisikan politik dengan mengatakan, ”Politik adalah segala sesuatu yang secara kongkrit sanggup mendekatkan manusia kepada kebajikan dan menjauhkan dari kerusakan, kendati hal itu tidak diajarkan Rasulullah, tidak ada wahyu yang turun tentangnya. Pendeknya, jalan apapun yang dapat mewujudkan keadilan, maka itu bagian dari agama.”

Demikianlah, situasi dan kondisi umat islam paska penjajahan digambarkan oleh imam Hasan Al-Banna.

Tidak seorangpun yang berbicara kepada anda tentang politik dan islam kecuali anda dapati bahwa ia memisahkan keduanya sejauh – jauhnya. Ia meletakkan yang satu berseberangan dengan yang lain. Bagi banyak orang, keduanya memang tidak dianggap bertemu, karena itulah sebuah organisasi disebut organisasi islam, bukan politik. Itu adalah perkumpulan keagaman tidak ada politik di sana. Anda lihat dalam AD/ART organisasi islam disebutkan secara tekstual: ’organisasi ini tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis.’

Katakanlah kepadaku, wahai saudaraku semua. Jika islam adalah sesuatu yang bukan politik, bukan sosial, bukan ekonomi, bukan pula budaya, lalu apa? Apakah ia adalah beberapa bilangan rakaat yang sepi dari kehadiran hati? Ataukah ia adalah beberapa ungkapan seperti pernah dikatakan oleh Rabi’ah Al-Adawiyah: istigfar yang membutuhkan istigfar? Hanya untuk inikah, wahai saudaraku, Al-Qur’an diturunkan sebagai sistem yang pasti, terperinci dan sempurna?

Politik dan hukum merupakan salah satu pokok syariat islam, yang tidak bisa dipisahkan dari pokok-pokok yang lain. Ustadz Hasan Al-Banna memberikan penjelasan tentang hal itu dengan berkata,

”Islam yang suci ini mengharuskan adanya pemerintahan sebagai salah satu prinsip dasar dari sistem sosial yang dihadirkan untuk umat manusia, karena ia tidak membiarkan kekacauan terjadi. Ia tidak membiarkan masyarakat muslim hidup tanpa pemimpin.

Negara islam tidak tertegak kecuali di atas landasan dakwah, sehingga ia merupakan negara misi, tidak sekedar sosok administratif dan bukan pula pemerintahan materi yang beku dan kosong tanpa jiwa di dalamnya. Demikian juga, dakwah tidak akan tertegak kecuali dengan sebuah naungan yang memeliharanya, menyebarkan, menyampaikan dan menegakkannya.”

Wahai saudaraku, janganlah berbagai istilah menghalangi kalian dari hakikat, janganlah berbagai sebutan menghalangi kalian dari tujuan, jangan pula berbagai fenomena menghalangi kalian dari subtansi. Sesungguhnya islam memiliki konsep politik, yang visinya menciptakan kebahagiaan dunia dan kemaslahatan akhirat. Itulah politik kita, dan kita tidak memerlukan pengganti. Oleh sebab itu, pimpinlah diri kalian dengannya dan ajaklah orang lain kepadanya, niscaya kalian akan beruntung dengan kehormatan akhirat, dan kalian pasti akan mengetahui beritanya sebentar lagi,”

Ustadz Hasan Al-Banna menyebutkan sejumlah titik tolak yang arif bagi pemikiran politik. Misalnya beliau menegaskan hakikat muslim sebagai politikus dari titik tolak keislamannya. Beliau berkata,”Sesungguhnya seorang muslim tidak sempurna keislamannya kecuali jika ia politisi;pandanganya jauh ke depan terhadap persoalan umatnya, memperhatikan dan menginginkan kebaikannya. Meskipun demikian, dapat juga saya katakan bahwa pertanyaan ini tidak dinyatakan oleh islam. Setiap organisasi islam hendaknya menyatakan dalam program-programnya bahwa ia memberi perhatian kepada persoalan politik umatnya. Jika tidak demikian, maka ia sendiri yang sesungguhnya butuh untuk memahami islam.

Engkau dapat mengatakan, dan itu tidak mengapa, bahwa Al-Ikhwan Al-Muslimun (IM) adalah tatanan politik, karena para kadernya menuntut perbaikan hukum di dalam negri dan menuntut kaji ulang terhadap hubungan umat islam dengan bangsa lain di luar negri, juga pendidikan masyarakatnya agar mencapai kehormatan, kemuliaan, perhatian pada kebangsaannya, hingga batas paling jauh.

Beliau menegaskan bahwa penerapan islam sebagai sistem hidup yang utuh dapat diwujudkan dengan ”daulah islam”, seraya berkata,”Negara adalah representasi dari pemikiran. Ia tegak di atas fondasi pemikiran itu dan menjadi penanggungjawab atas tercapainya di masyarakat secara khusus, juga sampainya pemikiran itu kepada seluruh umat manusia. Ia adalah daulah islam yang bebas, yang berjalan di atas hukum-hukum islam, menerapkan sistem sosialnya, menggaungkan prinsip-prinsip bangsanya, dan menyampaikan dakwahnya yang bijak kepada semua umat manusia.”

Kemudian beliau menjelaskan makna istilah politik dalam pandangan IM. Beliau berkata,”Kami adalah politisi dalam pengertian bahwa kami peduli terhadap permasalahan umat. Kami meyakini kekuatan eksekutif merupakan bagian dari ajaran islam, masuk dalam bingkainya dan bergerak di bawah naungan hukum-hukumnya. Usman bin Affan r.a pernah berkata,”Sesungguhnya Allah mencegah dengan kekuasaan, sesuatu yang tidak bisa dicegah dengan Al-Qur’an.’ Rasulullah SAW. Telah menjadikan pemerintahan sebagai salah satu buhul ajaran islam. Dalam kajian fiqhi, tema pemerintahan termasuk hal-hal yang fardhu bukan sunnah atau furu’iyah. Islam adalah pemerintahan dan penyelenggaraannya ....”

Terkadang maklum bahwa beberapa kalangan reformis islam merasa cukup dengan posisi sebagai pemberi nasihat dan peunjuk semata, kalau mereka dapatkan kalangan eksekutif memperhatikan perintah-perintah Allah dan menerapkan hukum-hukum-Nya, menyampaikan ayat-ayat-Nya dan sunnah-sunnah Rasul-Nya. Adapun kini, kondisi sebagaimana kita lihat:syariat islam secara konsptual di suatu lembah, syariat islam secara praktis dan operasional di lembah yang lain. Oleh sebab itu, diamnya para reformis islam untuk menuntut diterapkan pemerintahan islam merupakan tindakan kriminal dalam islam, yang tidak bisa dihapus kecuali dengan bangkit dan membersihkan kekuatan eksekutif dari tangan-tangan orang yang tidak memberlakukan hukum-hukum islam yang hanif.

Beliau menegaskan dengan sangat jelas bahwa tujuan IM bukan hukum itu sendiri, namun menerapkan syariat islam. Tentang ini beliau berkata,”Berdasarkan ini, maka IM tidak menuntut kekuasaan untuk dirinya sendiri. Kalau di kalangan umat terdapat orang-orang yang bersedia memikul tugas ini, menunaikan amanat ini, dan menegakkan kekuasaan dengan manhaj Al-Qur’an, maka mereka siap menjadi pasukan, penolong dan pendukungnya. Jika orang-orang itu tidak ada, maka penegakkan kekuasaan menjadi bagian dari agendanya dan mereka akan bekerja untuk membersihkannya dari tangan semua pemerintah yang menegakkan kekuasaannya dengan tidak melaksanakan perintah Allah Swt. Karena itu, Al-Ikhwan lebih sadar dan bertekad untuk maju memberikan kepedulian ihwal pemerintahan, sementara jiwa umat dalam kondisi seperti ini. Perlu ada waktu yang prinsip-prinsip islam tersebar dan menguasai sehingga masyarakat dapat belajar untuk mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan individu.”

”Satu kata yang harus kami sampaikam tentang sikap ini adalah, bahwa IM belum menyaksikan satu pemerintahan pun di masa hidupnya, yang bangkit memikul tugas ini, atau menunjukkan kesiapan yang benar untuk mengadvokasi pemikiran islam.”

Untuk mewujudkan tujuan ini, Ustadz Hasan Al-Banna menegaskan perlunya menyebarkan dakwah dengan penuh hikmah dan mau’izhah baik, melalui keikutsertaanya dalam kehidupan politik. Beliau berkata,”Adapun perangkat umum kita adalah memberikan penjelasan yang memuaskan dan menyebarkan dakwah dengan berbagai sarana. Setelah itu adalah perjuangan konstitusional hingga suara dakwah ini terdengar di berbagai forum resmi, yang lalu didukung dan ditegakkan oleh kekuata eksekutif. Berdasarkan prinsip ini, maka calon dari IM akan maju pada yang tepat untuk mewakili rakyat di gedung parlemen. Kami sangat yakin akan memperoleh keberhasilan selama dalam semua kegiatan ini mengharap pahala Allah Swt.”

Kaidah-kaidah nilai keadilan dan perwujudan kesetaraan, kehormatan dan kemuliaan manusia, juga perlindungan terhadap jiwa, harga diri, akal pikiran, dan harta benda, semua iu telah diatur dalam hukum-hukum syariat islam yang disimpulkan dari teks-teks dalil yang berhubungan dengan subtansi yang terdapat pada istilah kontemporer dalam urusan politik. Inilah hal-hal yang dituntut oleh IM untuk dipegang teguh dan diterapkan kandungannya. Ia tidak boleh disikapi secara berlebihan, namun tidak juga diabaikan. Tidak boleh semaunya dalam menerapkan kandungannya. Teks-teks dalil absolut (qath’iy) yang menunjukkan keharusan menerapkan syariat islam, melaksanakan kandungannya, dan berpegang teguh padanya, banyak jumlahnya.

Al-Ikhwan Al-Muslimun senantiasa berjuang membimbing umat manusia agar menempuh perjalanan islam dan memberdayakan potensi mereka, dengan tujuan menegakkan umat yang sanggup mengemban misinya dan bangkit untuk menggapai tujuannya dalam hidup ini. Untuk itu, Syaikh Hasan Al-Banna berkata,”Jika di dunia ini kita tidak menegakkan umat baru yang mengemban dakwah dan mengibarkan panji risalah kebenaran, maka selamat tinggal bagi dunia dan kemanusiaan.”

Setiap masa memiliki metode penulisan khusus yang sesuai dengan kadar potensi masyarakat dalam pemahaman dan caranya belajar. Pembaruan ini harus mengikuti perkembangan pemikiran manusia, perubahan dalam perumusan ulang metode penelitian, pemikiran dan pengambilan kesimpulan hukum. Atas dasar itu, adalah suatu keniscayaan bahwa para aktivis pergerakan kebangkitan islam harus memiliki perhatian penuh terhadap ”bahasa” kebangkitan. Yaitu dengan materi ilmiah yang bersumber dari referensi islam, yang mengekpresikan agenda peradaban untuk bangkit bersama umat dari awal lagi, yang agenda ini memuat persoalan kontemporer yang paling penting, paling fenomenal, dan paling menjadi perhatian masyarakat. Misalnya masalah kemerdekaan dan hak asasi manusia, civil society, demokrasi, format sistem politik negara islam: aplikasi syura, regional, dan lain-lain seperti masalah politik, ekonomi, sosial, dan semua yang menyentuh kehidupan.

Pilar dakwah agar dapat meraih sukses adalah senantiasa menyampaikan secara jelas ke telinga umat manusia agar sampai di hati mereka. Itulah suatu tahapan yang IM merasa yakin telah sampai ke tengah masyarakat hingga batas relatif sukses, dapat dirasakan dan dilihat. Setelah itu tinggallah kini bagaimana dakwah yang mulia ini sampai di wilayah dan medan resmi. Maka jalan yang paling dekat untuk sampai di sana adalah ”mimbar parlemen”. Karena itu, IM mendorong para orator dan dainya untuk naik ke mimbar ini guna menyampaikan kalimat dakwah dari atasnya, agar sampai di telinga para wakil umat di wilayah resmi dan terbatas ini, setelah ia tersebar dan sampai di tengah umat dalam wilayah terbuka masyarakat. Karena itu, Maktab Al-Irsyad memutuskan agar IM ikut serta dalam pemilihan anggota parlemen, pada muktamar keenam IM yang diselenggarakan di kairo pada bulan Dzulhijah 1361 H (1941 M). Jika orang memahami hakikat ini lalu mereka menggantikan posisi kami, maka kami siap masuk untuk menjadi sahabat dan keluar pun menjadi sahabat. Adapun jika mereka tidak memahaminya dan tidak mampu melakukannya, maka merekalah yang patut dicela. Sedangkan dakwah sendiri, dan para dainya, tidaklah diperintahkan untuk menjauh dari jalan kesuksesan hanya karena takut kepada manusia, karena Allah lebih berhak untuk ditakuti.

Imam Hasan Al-Banna, tatkala dicalonkan untuk menjadi anggota parlemen tahun 1944, memberi komentar,”Majelis parlemen bukan hanya terbatas milik para penguasa politik dan tokoh partai dengan berbagai alirannya, akan tetapi ia adalah mimbar rakyat. Dari atasnya bisa diperdengarkan semua pemikiran yang baik dan dihasilkan dari sana pengarahan yang benar, yang mengungkapkan aspirasi rakyat...”

Ustadz Umar Tilmisani berkata,”Kita tidak berambisi kepada apa yang disebut kemenangan politik. Akan tetapi yang penting bagi kami adalah terwujudnya kemenangan Allah dalam wujud terterapkannya syariat-Nya di tengah kita. Jika kita masuk ke majelis parlemen, kita tidak menganggapnya sebagai kemenangan dalam perspektif manusia, akan tetapi kita menganggapnya sebagai mimbar yang memiliki perannya menyampaikan dakwah kepada Allah. Jikapun kita tidak berhasil memasukinya, itu bukan berarti bahwa kita terkalahkan, karena bukan itulah tujuan kita, ia hanyalah sarana... Demikianlah, bukan dalam kalkulasi kita, kemenangan politik atau kekalahan dalam pemilihan.”


Diskusi intelektual profetik
7 Desember’07

Tidak ada komentar:

Iqra'

  • Petunjuk jalan
  • Paradigma Alqur'an
  • Menuju jama'atul Muslimin
  • Laskar pelangi
  • Dakwah salafiyah dakwah bijak
  • Benturan Peradaban