Ada banyak pendapat tentang latar berdirinya Muhammadiyah diantara, menurut alwi shihab ada dua hal, pertama didorong oleh tersebarnya gagasan pembaruan islam dari timur tengah ke Indonesia pada tahun-tahun pertama abad ke-20. Kedua, sebagai respon terhadp pertengan ideologis yang berlangsung lama dalam masyarakat jawa (yang masih berbau tahayul, khurafat, mitologi dan sinkretisme). Termasuk pula karena adanya kristenisasi yang telah menjamur. Buya hamka mengungkapkan bahwa ada tiga hal yang mendorong berdirinya Muhammadiyah. Pertama, keterbelakangan dan kebodohan umat islam Indonesia hampir di semua bidang kehidupan. Kedua, kemiskinan yang parah oleh umat islam dalam negeri yang kaya. Ketiga, kondisi pendidikan islam yang sudah ketinggalan zaman. Sementara itu menurut Ahmad Adaby darban menyatakan bahwa berdirinya dapat dibedakan menjadi dua. Pertama factor subyektif KH Dahlan dalam memahami pesan-pesan Al-Qur’an terutama Q.S Ali imran 104 (Dakwah amal ma’ruf nahi munkar). Kedua factor obyektif dalam hal ini obyektif internal dan ekternal. Internal yaitu didasarkan pada kondisi masyarakat Islam di lingkungan kauman (yang kehidupan keagamaannya sinkretik dan tradisional). Ekternal yaitu realitas masyarakat Indonesia yang masih terjajah oleh Belanda yang membawa moti glory (politik), gold (ekonomi) dan gospel (kristenisasi dan asosiasi).
Mitsuo Nakamura menyatakan bahwa:”Pada awalnya, Dahlan mencari pengikut bagi penyiarannya di kalangan priyayi muda, sebagaimana ditunjukkan oleh kenyataan bahwa ia masuk Budi utomo, dan ia memberikan pelajaran Islam ektrakulikuler di sekolah pendidikan guru dan sekolah pamong praja. Beberapa orang dari pelajar ini, yang telah menjadi anggota Budi utomo, dikabarkan menjadi murid yang tekun, juga saran dari murid-murid mudanya ini kemudian Dahlan memutuskan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah”. Setelah Muhammadiyah berdiri (18 November 1912), KH Dahlan mengajukan surat permintaan badan hokum kepada Gubernur Jendral Belanda di Jakarta. Permintaan itu dikabulkan pada 22 Agustus 1914 dengan wilayah yurisdiksi hanya berlaku untuk daerah kota Yogyakarta berlaku selama 29 tahun. Saat kongres Budi Utomo di Yogyakarta pada tahun 1917, KH Ahmad Dahlan memanfaatkannya untuk mensosialisasikan Muhammadiyah yang kemudian banyak utusan dari berbagai daerah berminat untuk membuka cabang di berbagai daerah, namun untuk melakukan itu anggaran dasar harus diamandemen terlebih dahulu. Pada tahun 1920 dinyatakan bahwa wilayah yurisdiksi Muhammadiyah menyangkut seluruh pulau Jawa dan pada tahun berikutnya menjadi seluruh wilayah Indonesia. Pada tahun 1925 Muhammadiyah masuk ke minangkabau yang memiliki peran sangat penting dalam perkembangan Muhammadiyah di luar Jawa. Pada tahun 1927 terbentuk cabang di Bengkulu, Banjarmasin dan Amuntai. Sedangkan pada tahun 1929 pengaruhnya mulai tersebar di Aceh dan Makassar.
Dengan semakin luasnya Muhammadiyah, maka lembaga-lembaga pendukung dalam struktur organisasi inipun semakin bertambah. Pembagian wilayah kerja pun mulai ditata teratur. Misalnya, Penolong Kesengsaran Umat (PKU). Lembaga ini pada mulanya merupakan organisasi yang berdiri sendiri dengan nama yang sama, yang didirikan pada tahun 1918 oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah untuk menolong korban letusan gunung kelud, yang kemudian diperluas untuk membantu orang miskin dan anak yatim di Yogyakarta. Pada tahun 1921 PKU menjadi bagian dari Muhammadiyah yang selanjutnya menjadi klinik pada tahun 1926. Aisyiyah juga pada awalnya merupakan organisasi yang berdiri sendiri yang sebelumnya bernama Sopotrisno yang didirikan oleh KH Dahlan pada tahun 1918, kemudian pada tahun 1922 berubah menjadi Aisyiyah menjadi bagian dari Muhammadiyah. Dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya perempuan, Muhammadiyah mendirikan lembaga pendidikan Muallimat. Aisyiyah sebagai sebuah organisasi perempuan yang mengurus persoalan perempuan dalam bidang dakwah, pendidikan dan kesejahteran sosial berkembang sangat pesat. KH Dahlan juga mendirikan gerakan kepanduan yang dikenal dengan nama Hizbul Wathan pada tahun 1918, yang pada awalnya merupakan bagian dari departemen pendidikan kemudian pada tahun 1926 menjadi departemen khusus yang dinamakan majelis Hizbul Wathan (termasuk di dalamnya Jendral besar Sudirman). Said Makruf merupakan orang yang paling berjasa dalam meletakkan perlunya kemiliteran dalam Muhammadiyah, said makruf mendapatkan ide ini ketika mengikuti latihan militer ke Mesir. Pada tahun 1930 melalui kongres ke 12 di Makassar ditetapkan berdirinya Pemuda Muhammadiyah. Selanjutnya untuk memutuskan ketentuan-ketentuan hokum baru sebagai konsekuensi dari ketidakterikatannya terhadap mahzab tertentu. Muhammadiyah mendirikan majelis tarjih berdasarkan keputusan kongres pekalongan tahun 1927.
Masa penjajahan Belanda
Semenjak KH Dahlan meninggal tahun 1923, dan kepemimpinan dilanjutkan oleh KH Ibrahim, perdebatan yang terjadi antara organisasi Islam yang bergerak di bidang politik dan yang bergerak dalam bidang sosial keagamaan semakin memuncak. Pada masa ini Muhammadiyah dihadapkan pada benturan-benturan internal maupun eksternal. Salah satu benturan internal berupa dugaan penerimaan dana haram dan dituduh bahwa beliau merupakan kaki tangan belanda, namun hal itu dapat diselesaikan dengan elegan. Benturan ekternal berupa kebijakan pemerintah belanda tentang ordonansi sekolah liar pada tahun 1932 yang melarang perguruan atau sekolah yang tidak didukung oleh tenaga pengajar yang diakui oleh pemerintah Belanda. Hal itu juga dapat diatasi dengan beberapa kompromi. Dibawah pimpinan KH Hisyam Muhammadiyah mengalami perkembangan pesat di bidang pendidikan dan sosialnya sehingga banyak sekolah Muhammadiyah yang mendapat subsidi dari pemerintah yang pada akibatnya kurikulumpun harus disesuaikan.
Pada saat KH Mas Mansur memimpin (1937) mulai berorientasi masuk pada politik praktis, mas Mansur merupakan salah satu pendiri MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia). Pengangkatan mas Mansur terjadi kerena suasana ketidakpuasan sebagian angkatan muda Muhammadiyah terhadap kebijakan pengurus yang terlalu mengutamakan pendidikan tetapi melupakan bidang tabligh. Mas Mansur dianggap dapat mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak.
Masa pendudukan Jepang
Jepang bersikap lunak terhadap organisasi Islam, sehingga terbangun kerjasama yang cukup baik. Kepemimpinan mas Mansur memang banyak mempengaruhi aktivitas politik Muhammadiyah selain di MIAI beliau juga merupakan salah satu tokoh partai islam Indonesia, yang kemudian menimbulkan perdebatan dikalangan anggota Muhammadiyah, diantara yang mengingkan agar Muhammadiyah bersikap netral terhadap semua partai dan keterlibatan Muhammadiyah dalam politik praktis serta pihak yang setuju dan mengembalikan sepenuhnya kepada mas Mansur untuk menentukan sikap, akhirnya pada sidang tanwir 1939 memutuskan untuk mengijinkan mas Mansur melanjutkan keterlibatannya dalam partai politik. Namun demikian mas Mansur tetap mundur dari kepengurusan PII dan hanya menjadi penasehat partai. Peran politik Muhammadiyah dilanjutkan oleh Ki Bagus Hadikusumo (1944-1953) yang merupakan salah seorang yang mengusulkan tentanf ideology negara. Sejak masa kepemimpinan Ki Bagus periode AR Sutan Mansur (1952-1959), Yunus Anis (1959-1962) dan Ahmad Badawi (1962-1968), Muhammadiyah memiliki keterlibatan dalam yang sangat intens dengan dunia politik praktis, yakni keterlibatan Muhammadiyah sebagai salah satu anggota istimewa Masyumi yang didirikan di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1945.
Pada masa orde baru
Belajar dari pengalaman pergulatan politik pada awal masa orde baru, akhirnya Muhammadiyah berkesimpulan bahwa bersikap netral terhadap semua partai politik dan kembali kepada jalur dakwah non politik merupakan langkah yang lebih tepat. Sikap ini diputuskan dalam muktamar Muhammadiyah di Makassar tahun 1971. Sebelumnya pada masa awal orde baru umat islam merasakan adanya kebanggaan pemerintah terhadap partisipasi umat Islam terutama dalam hal penumpasan PKI, sehingga coba untuk melakukan komunikasi dengan penguasa. Ketua Muhammadiyah KH A Badawi mengadakan pertemuan dengan presiden mengajukan agar masyumi hidup kembali, namun ditolak bahkan soeharto menyarankan agar muhammadiyah diubah saja menjadi partai politik. Pada akhirnya umat Islam membentuk partai Muslim Indonesia (1967) dan Muhammadiyah berkiprah aktif di dalamnya. Muhammadiyah meyakini bahwa aspirasi politik sebagai intrumen politik dapat melakukan tugas dakwah amal ma’ruf nahi munkar. Pada tahun 1969 dalam sidang tanwir dinyatakan bahwa “partai politik merupakan salah satu alat perjuangan dan kegiatan dakwah melalui saluran politik”. Namun dengan kondisi perpolitikan Indonesia yang tidak memungkinkan maka Muhammadiyah menetapkan untuk kembali kepada khittah (1912) yang menegaskan kembali pada strategi cultural. Muhammadiyah menyadari bahwa keterlibatan dalam politik praktis memiliki ongkos yang sangat mahal, karena muhammadiyah terlalu disibukkan oleh urusan-urusan politik sehingga aktivitas dakwah dan pengelolaan amal usaha menjadi terbengkalai serta tidak mendatangkan manfaat bagi organisasi. Pada tahun 1993 Amien rais menggantikan Azhar basyir karena meninggal dunia. Sikap amien rais berbeda dengan para pendahulunya yang cenderung akomodatif dengan pemerintah, amien rais sangat menjaga indepedensi Muhammadiyah dan kritis terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah termasuk persolaan korupsi dan suksesi kepemimpinan sebaiknya segera dilakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar