Sabtu, 21 Maret 2009

Mencari Solusi di Tengah krisis

Semangat...Allahu Akbar!!!
Ada sebuah pernyataan yang cukup menarik untuk dicermati, dalam banyak media kita membaca ataupun mendengar bahwa “krisis Palestina-Israel bukanlah konflik agama melainkan persoalan politik”. Tentu saja pernyataan ini sangat absurd, ahistoris dan parsial serta tidak memiliki kerangka yang jelas. Pertanyaannya adalah, kalau memang benar bahwa krisis Palestina adalah masalah politik, apa solusi konkret yang ditawarkan? Dengan kesimpulan bahwa ini adalah masalah politik, lalu apakah agama tidak memberikan solusi untuk persoalan politik? Jika demikian halnya, amat sangat naif sekali orang yang beragama. Argumen yang sering dibangun memang menarik, yaitu untuk tidak mereduksi nilai-nilai agama. Sehingga, tidak secara stereotip memandang krisis Palestina diselesaikan dengan solusi agama. Pendapat seperti ini berangkat dari cara pandang sekularisme yang menjadi ide dasar kapitalisme, yaitu memisahkan agama dari kehidupan. Agama dalam pandangan sekularisme hanya berfungsi mengatur urusan-urusan individual, moralitas, dan ritual. Agama dilarang mencampuri urusan politik, ekonomi, pendidikan dan bidang sosial lainnya. Hal senada diungkapkan oleh tokoh liberal Muhammad Guntur Romli yang memandang krisis Palestina bukan persoalan agama melainkan persoalan kemanusiaan. Demikian juga pernyataan beberapa pernyataan lain yang menegaskan krisis Palestina adalah problem internal pihak-pihak yang terkait (Fatah-Hamas-Israel). Kesimpulannya adalah sama yaitu menihilkan solusi agama.
Jumlah korban di Gaza sejak awal agresi berlangsung sebanyak 1317 syahid dan 5340 orang luka-luka, sebagian besar adalah wanita dan anak-anak (masyarakat sipil). Tentara Israel yang memang terbukti dari dulu sangat pengecut, membombardir pemukiman masyarakat dengan membabibuta, tanpa terkecuali semuanya dihancurkan. Dimanakah hati nurani mereka? Illan Pappe, seorang sejarawan berkebangsaan Yahudi, saat ditanya kenapa orang Israel bisa melakukan kekejaman terhadap palestina, pappe menjawab, “Ini buah dari sebuah proses panjang, indoktrinasi, yang dimulai sejak usia taman kanak-kanak, semua anak yahudi di Israel dididik dengan cara ini. Ayat-ayat Talmud dijadikan satu-satunya “pedoman moral” bagi mereka. Yang paling utama adalah indoktrinasi bahwa hanya bangsa yahudi yang manusia, sedangkan orang-orang lain adalah hewan. Beberapa ayat Talmud yang dijadikan doktrin tentara Israel dalam peperangan, dan secara khusus didaraskan terutama pada setiap hari sabtu (Sabbath)
• Orang yahudi diperbolehkan berdusta menipu Ghoyim (non-Yahudi). (Baba Kamma 113a)
• Semua anak keturunan Ghoyim sama dengan binatang (Yebamoth 98a)
• Seorang Ghoyim yang berbaik pada Yahudi pun harus dibunuh (Soferim 15, kaidah 10)
• Barangsiapa yang memukul dan menyakiti orang Israel, maka berarti ia telah menghinakan Tuhan (Chullin 19b)
• Orang Yahudi adalah orang-orang yang shalih dan baik dimanapun mereka berada. Sekalipun mereka melakukan dosa, namun dosa itu tidak mengotori ketinggian kedudukan mereka (Sanhedrin 58b)
• Hanya orang Yahudi satu-satunya manusia yang harus dihormati oleh siapa pun dan apapun di muka bumi ini. Segalanya harus tunduk dan menjadi pelayan setia, terutama binatang-binatang yang berwujud manusia, yakni Ghoyim (Chagigah 15b)
• Haram hukumnya berbuat baik kepada Ghoyim (Zhohar 25b).
Atas dasar doktrin yang sangat rasis inilah Israel seakan-akan bahwa bumi dan segala isinya hanyalah untuknya, di luar mereka semua pelayan, budak dan hewan-hewan yang tidak ada artinya sama sekali serta tidak memiliki nilai kemanusiaan sedikitpun. Apalagi yang diharapkan dari Israel kalau sudah begitu? Perdamaian, keadilan ataukah perundingan menuju persahabatan? Untuk menjawab hal itu mari kita lihat apa kata Al Qur’an tentang karakter bangsa Yahudi: Suka memutarbalikkan fakta, paling cepat melanggar janji, paling suka mengatur tipu daya, rasialis dan apologetic, menganggap dirinya paling pintar, hanya menuruti kemauannya sendiri, membuat ukuran kebenaran menurut seleranya sendiri, menganggap dirinya paling bersih, paling pengecut, gemar membangkitkan peperangan (lihat, 76 karakter Yahudi dalam Al Qur’a Syaikh Mustafa Al-Maraghi). Apa yang dapat anda simpulkan? Dapatkah persoalan kritis palestina-israel terselesaikan melalui meja perundingan?
Sebagaimana diketahui, pada 10 Februari mendatang, Israel punya hajat politik yaitu Pemilu. Rezim berkuasa Israel pada awal kepemimpinan kehilangan legitimasi dari rakyatnya setelah secara mengejutkan Hamas menang atas Fatah di Palestina beberapa tahun sebelumnya. Kemenangan Hamas bagi Israel adalah petaka yang harus segera diselesaikan. Bagi Israel, Hamas merupakan organisasi teroris dunia yang ingin menghapuskan Israel dari peta dunia. Oleh karena itu, alasan bahwa serangan Israel adalah sebagai aksi balasan atas roket Hamas tidak lebih sebagai dalih semata. Faktanya, serangan itu bukan mengarah ke target sasaran (Hamas) saja, melainkan juga menghancurkan sekolah, rumah sakit, mesjid, dan fasilitas umum. Menurut konvensi Jenewa, ini bentuk pelanggaran hukum. Belum lagi korban anak-anak dan wanita. Akhlak mana yang mengajarkan wanita dan anak bisa dibunuh dalam kondisi apapun? Resolusi 1680 PBB telah menjadi antiklimaks setelah diabaikan untuk yang kali ke sekian. Demikian pula mayoritas anggota Kongres AS malah mendukung invasi Israel. Serangan ini masih terus berlangsung dan tidak akan berhenti jika Hamas belum berhasil dibasmi oleh Israel. Oleh karena itu, motif sesungguhnya invasi Israel ke Gaza tidak lain adalah untuk menaikkan simpai politik dari rakyat Israel dan melanggengkan rezim yang berkuasa.
The Chicago Tribune melaporkan popularitas Perdana Menteri Ehud Olmert, Menteri Pertahanan Ehud Barak dan Menteri Luar Negeri Tzipi Livni langsung melejit setelah serangan ke Kota Gaza. Kalau demikian halnya, amat sangat rusak sekali sistem demokrasi. Demi kepentingan politik, mereka tega menumpahkan darah, menghilangkan nyawa dan menghalalkan segala cara.
Belajar dari hal tersebut, gagasan dan harapan untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang adil, makmur, maju dan modern berdasarkan agenda kebebasan dan demokratisasi yang didengungkan oleh AS di negeri-negeri Islam telah kehilangan relevansinya. Di satu sisi, kebebasan dan demokrasi dikampanyekan dan diimplementasikan, pada posisi lainnya demokrasi diinjak-injak para pengusungnya. Sebagai gambaran, jika Hamas menang secara mutlak secara demokratis, kenapa pula pada saat yang sama Hamas diberangus? Jika dalam logika demokrasi ada kaidah mayoritas, kenapa PBB gagal mencegah invasi Israel hanya karena veto AS. Apa demokrasi memang harus begitu? Hipokrit, manipulatif, korup, despotik dan culas. Akar persoalan konflik Israel-Palestina secara tepat disimpulkan oleh David Fromkin dalam bukunya, A Peace to End All Peace, pembagian bekas Kekaisaran Ottoman setelah Perang Dunia I menjadi biang keladi ketidakpastian politik dan kemelut di Irak modern dan seluruh Timur Tengah dalam setengah abad belakangan ini. Masalah substansial Palestina sebenarnya adalah dirampasnya tanah Palestina oleh Israel dengan dukungan Inggris, AS dan PBB. Jadi, keberadaan negara Israel yang didukung oleh Barat itu sendirilah yang menjadi pangkal persoalan Palestina dan krisis Timur Tengah. Dengan demikian, selama negara Israel berdiri, persoalan Palestina tidak akan selesai. Alquran telah mendeskripsikan sikap, karakter dan kesudahan bangsa Yahudi Israel ini di dalam surah Al-Isra: 4-8. Mungkin muncul suatu pertanyaan mengapa PBB dan Amerika seakan-akan tidak memiliki taring dalam menindak Israel? Cenderung menerapkan standar ganda. Lobi Yahudi terhadap Amerika Serikat sudah sangat mendarah daging begitu pula dalam struktur kunci dalam dewan keamanan PBB peran dan pengaruh Yahudi begitu besar (lihat, Yahudi dalam informasi dan organisasi Fuad Bin Sayyid Abdurrahman Arrifa’i).
Sebagai solusinya, tidak cukup dengan kecaman, demonstrasi dan bantuan kemanusiaan. Demikian pula krisis ini tidak selesai dengan konferensi, perundingan dan resolusi. Berdasarkan pandangan syariat, penyelesaian masalah Palestina tidak lain adalah sangat gamblang, yakni dengan jihad fi sabilillah, mengambil hak kembali bumi Palestina, sebagaimana bangsa Indonesia mengusir Belanda, Portugis, dan Jepang.
Para fukaha sepakat bahwa hukum memerangi orang kafir yang menyerang negeri Islam adalah fardhu ain. An-Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim, Dar Ihya’ at-Turats al-’Arabi, mujtahid mazhab Syafi’i, juga mengatakan, “Para pengikut mazhab kami berpendapat bahwa jihad saat ini hukumnya fardhu kifayah. Kecuali jika kaum kafir memasuki negeri kaum muslim maka jihad tersebut menjadi fardhu ain bagi mereka. Jika rakyat negeri tersebut tidak mencukupi, rakyat negeri Islam yang ada di sekitarnya wajib menyempurnakan kecukupan (kifayah) tersebut.”
Ibn Taymiyah (Al-Ikhtiyarat al-’Ilmiyyah, diterbitkan dengan Fatawa Ibn Taymiyyah) juga mengatakan, “Jika musuh telah memasuki negeri Islam, tidak diragukan lagi bahwa hukum mempertahankannya wajib bagi yang terdekat, demikian seterusnya. Sebab, negeri Islam semuanya merupakan satu negeri.”
Inilah pandangan para fukaha mengenai status kaum muslim berperang di Palestina. Karena itu, berperang di Palestina untuk mempertahankan wilayah tersebut dari agresi Israel, Amerika, Inggris dan sekutunya saat ini jelas merupakan jihad fi sabilillah. Hukumnya adalah fardhu ain bagi rakyat Palestina, baik laki-laki maupun perempuan. Sedangkan bagi rakyat negeri Islam yang lain, seperti Yordania, Suriah, Kuwait, Arab Saudi, Iran dan sekitarnya, melihat kondisi saat ini korban terus berjatuhan, teraniaya, lemah dan terdesak maka hukumnya berubah menjadi fardhu ain. Kewajiban tersebut baru akan gugur dari pundak mereka jika peperangan ini benar-benar usai dan dimenangkan oleh kaum Muslim. Karena itu, sangat naif jika keterlibatan kaum muslim untuk berjihad di Palestina dalam rangka membebaskan rakyat Palestina —baik muslim maupun nonmuslim— dari serangan negara-negara imperialis itu dianggap sebagai konyol atau sia-sia, apapun alasannya. Bangkitlah umat Islam, bersatulah Negara-negara Arab, mudah-mudahan momentum ini menjadi pemicu kesadaraan para pemimpin Arab untuk segera bersatu, ketika PBB dan Amerika Serikat yang semestinya dapat menjadi solusi, tidak berkutik sama sekali. Maka mata mulai tertuju kepada Organisai Liga Arab dan OKI mulai menampakkan titik terang untuk menyelesaikan krisis Palestina-Israel, walaupun saat ini kemungkinannya sangat kecil bagi Negara-negara Arab untuk menyamakan langkah dalam upaya mengembalikan eksistensi Palestina yang selama ini masih terjajah. Wallahu a’lam.

"Tugas kita adalah mengeluarkan kaum muslimin dari Islam. Membuat mereka mengekor pada pengajaran, kekuasaan, dan pemikiran kita. Dalam masalah ini kita telah berhasil dengan gemilang. Kita melihat bahwa setiap orang yang lulus dari lembaga-lembaga pendidikan - bukan saja lembaga-lembaga pendidikan missionaris, tetapi lembaga-lembaga pendidikan umum baik negeri maupun swasta - yang menganut kurikulum yang telah kita susun dan telah kita tatarkan kepada ahli-ahli pendidikan, mereka telah keluar dari Islam dalam perilakunya, walaupun namanya tetap muslim. Mereka kemudian masuk dalam orbit politik kita tanpa terasa atau menjadi orang yang tidak membahayakan bagi eksistensi kita. Sungguh, ini keberhasilan kita yang tidak ada bandingnya." (dikutip dari buku "Pawns in the Game" oleh William H. Carr , diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Khairullah Al-Thalfah dengan judul "Yahudi Menggenggam Dunia")

Tidak ada komentar:

Iqra'

  • Petunjuk jalan
  • Paradigma Alqur'an
  • Menuju jama'atul Muslimin
  • Laskar pelangi
  • Dakwah salafiyah dakwah bijak
  • Benturan Peradaban